JAKARTA, KOMPAS.com -- Di era modern ini, Indonesia masih saja dihinggapi oleh persoalan gizi, terutama obesitas pada anak.
Diungkapkan oleh dr Reni Wigati, SpA, seorang dokter spesialis anak di RS Dharmais dalam acara diskusi “Kenali Bahaya Gula pada Tumbuh Kembang Anak” bersama Forum Ngobras di Sleepyhead Coffee, Jakarta, Jumat (21/7/2017), Indonesia kini berada di posisi ke-10 di dunia untuk masalah obesitas.
Berdasarkan survei, tingkat gizi lebih pada anak secara global di tahun ’90-an adalah 4,2 persen. Angka ini kemudian meningkat menjadi 6,7 persen pada tahun 2010 dan prediksinya akan lebih dari sembilan persen pada tahun 2020.
“Sedihnya, pada tahun 2013, penelitian di Indonesia menemukan bahwa angka overweight sudah 10,8 persen dan angka obesitas di atas delapan persen. Jadi kita sudah duluan di atas prediksi kegemukan dunia pada tahun 2020,” kata dr Reni.
(Baca juga: Pola Asuh Kaku Picu Obesitas Anak)
Padahal, kegemukan berpotensi menyebabkan penyakit degeneratif seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, dan diabetes tipe dua.
Penelitian juga menemukan bahwa sebagian besar dari kasus obesitas murni disebabkan oleh nutrisional. “Jadi, asupannya lebih besar dari kalori yang dikeluarkan,” kata dr Reni. Sementara itu, kelainan hormon dan genetik hanya menyebabkan kurang dari 10 persen masalah gizi lebih di Indonesia.
Menjaga berat badan anak
Untuk itu, dr Reni pun menghimbau orangtua untuk melakukan pencegahan sebelum terlambat. Caranya dengan mengenalkan pola makan yang benar sejak usia enam bulan atau sejak tahap makanan pendamping air susu ibu (MPASI).
Menurut dia, pola makan yang baik terdiri dari tiga kali makan besar dan dua kali camilan berupa buah segar yang tidak dijus. Kalori yang dikonsumsi anak pun harus dikonsultasikan dengan pakar nutrisi. Lalu, selama makan dan di luar jadwal, anak hanya boleh minum air putih.
Untuk jamnya, dr Reni berpendapat bahwa pola makan anak bisa mengikuti pola makan keluarga. “Yang paling baik adalah anak makan di meja makan bersama keluarganya, tanpa dibarengi aktivitas lain, terutama nonton televisi,” katanya.
Kemudian, langkah berikutnya adalah menciptakan lingkungan yang netral dan tidak memaksa. Dia menekankan, jenis dan jumlah makanan hanya anak yang menentukan. Bila anak sudah merasa kenyang, ya kenyang. Harus dihargai.
(Baca juga: Makanan Ini Ternyata Bikin Anak Obesitas)
Dokter Reni juga berkata bahwa ASI juga harus diberikan hingga anak berusia dua tahun. “Hal ini bisa membantu mencegah obesitas,” ucapnya.
Lalu, bagaimana bila gizi anak sudah terlanjur lebih?
Langkah pertama yang harus dilakukan orangtua adalah menyesuaikan kalori dengan kebutuhan. Penentuan kalori bisa dibantu oleh petugas kesehatan.
Namun, pengurangan kalorinya harus bertahap. Bila terlalu cepat, dr Reni berkata efeknya bisa bermacam-macam, termasuk batu ginjal dan batu empedu. “Kita minta dia kurangi sekitar 200 kalori ya, dikurangi sedikit-sedikit. Target pengurangan berat badannya juga hanya 0,5 kilogram saja per minggu,” ujarnya.
Pola diet anak juga harus seimbang, yakni 50-60 persen karbohidrat, 30 persen lemak, dan protein harus mencapai 15-20 persen. Usahakan juga agar makanan yang dikonsumsi anak tinggi serat. Perhitungan kasar untuk kebutuhan serat anak setiap hari adalah usia anak ditambah lima gram.
Selain menjaga pola makan, aktivitas juga diperlukan dalam menjaga berat badan anak. Dokter Reni meekomendasikan olahraga intensitas sedang seperti berjalan cepat selama 60 menit sehari. Sementara itu, olahraga yang agak berat seperti berlari bisa dilakukan tiga kali seminggu.
“Kemudian, ajak anak untuk terlibat dalam permainan olahraga di sekolah maupun di rumah. Namanya anak-anak, kalau diajak main pasti senang. Jadi, pilihkan aktivitas fisik bagi anak,” katanya.
(Baca juga: Obesitas Anak Bukan Hanya karena "Fast Food"?)
Orangtua juga bisa memodifikasi aktivitas harian, misalnya menurunkan anak agak jauh dari sekolah agar berjalan atau mengajak anak memilih tangga daripada elevator. Namun, modifikasi ini harus dilakukan sekeluarga agar anak termotivasi untuk mengikuti.
Lalu, bagian yang tidak kalah penting lainnya adalah modifikasi perilaku agar anak bisa menjaga dirinya sendiri baik di dalam maupun di luar rumah.
“Ketika anak sudah besar, dia harus mampu mengawasi dirinya sendiri, mulai dari perubahan berat badannya, aktivitas fisiknya, hingga asupannya. Bila anak dilibatkan, biasanya semangatnya dalam menjaga berat badan akan lebih baik,” ucap dr Reni.
Akan tetapi, orangtua juga harus bisa mengontrol stimulus atau rangsangan di sekitar anak. Jangan sampai orangtua melarang anak makan kerupuk, tetapi menyediakannya di meja sebagai camilan diri sendiri. Oleh karena itu, satu keluarga harus sepakat untuk mengikuti pola makan yang sehat bersama-sama.
Terakhir, dr Reni berpesan agar tidak melakukan perundungan (bullying) kepada anak. “Bagaimana pun keadaan gizi anak, orangtua mau pun teman tidak boleh melakukan bully. Sebab, hal ini bisa berbekas secara psikologis dan membuat anak lari ke makanan,” katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.