Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Ancaman Kepunahan di Balik Penemuan Dua Reptil Baru Sumatera

Kompas.com - 22/06/2017, 21:56 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

KOMPAS.com – Jenis baru reptil baru saja terungkap. Herpetolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amir Hamidy, dan timnya menemukan jenis ular Lycodon sidiki dan bunglon Pseudocalotes baliomus.

Di balik penemuan reptil asal Sumatera yang dilakukan bersama dengan tim Universitas Brawijaya, Broward College, dan Universitas Texas, Amir punya kisah tentang tantangan penelitian dan ancaman kepunahan.

Ia mengatakan, survei herpetologi kerap dilakukan parsial. Rentang waktu penelitian tak lebih dari satu bulan.

Survei yang dilakukannya bersama sejumlah universitas itu adalah kesempatan emas untuk mendata reptil sebab merupakan proyek riset tiga tahun.

"Sumatera punya karakter biologi yang unik karena ada pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari utara sampai selatan. Kami coba selama tiga tahun penuh mencari jenis baru,” katanya.

Mencari spesies baru selama tiga tahun bukanlah perkara mudah. Peneliti seperti pekerja yang harus lembur setiap hari sebab harus menyurvei dari pukul 8 hingga 1 pagi. Istirahat hanya untuk makan dan ibadah.

Itu dilakukan demi menyesuaikan dengan aktivitas spesies. Untuk bunglon, survei dilakukakan pada siang hari. Sementara, untuk ular dan katak baru aktif pada malam hari.

Tantangan bertambah karena untuk survei ular, peneliti menghadapi tantangan keterbatasan amtibisa ular yang tersedia.

“Antibisa ular yang tersedia sangat terbatas hanya untuk tiga jenis ular saja. Sementara kita punya 70-an jenis ular berbisa,” ujar Amir.

Konsentrasi pencarian dilakukan di sekitar daerah aliran sungai. Wilayah yang berada 1-2 meter dari sungai biasa menjadi tempat hidup ular dan katak.

Survei dilakukan di dataran tinggi. Amir menilai, keragaman flora Sumatera di dataran rendah tidak bisa diandalkan.

Menurutnya, hampir 80 persen hutan di Sumatera telah berganti menjadi perkebunan sawit. Karena kehilangan tempat tinggal, beberapa spesies yang hidup di hutan dataran rendah kini menetap di dataran tinggi.

"Fenomena ini sama dengan di Jawa. Kalau di Sumatera semua habis untuk sawit, di Jaw hanis untuk pemukiman,” kata Amir saat dihubungi Selasa (20/6/2017).

Pencarian dilakukan di dataran tinggi dengan harapan keragaman herpetofaunanya masih dapat menggambarkan biodiversitas Sumatera.

Reptil Sumatera kini menghadapi tantangan. Perubahan habitat memaksa repril bergerak di dataran lebih tinggi dan beradaptasi dengan lingkungan baru.

Bila lingkungan semakin sempit, populasi reptil akan terbatas dan akhirnya melakukan reproduksi sedarah. Itu berpotensi mengakibatkan kepunahan.

“Kalau hanya kawin satu grup saja itu otomatis keragaman genetiknya hampir sama. Kalau ada satu gen lemah, tidak bisa melawan satu penyakit, seluruh populasi itu akan habis kalau kena penyakit. Jadi sangat riskan,” ujar Amir.

Para peneliti reptil kini berjuang mengungkap keragaman yang ada di tengah berbagai tantangan itu. Harapannya ada kesadaran untuk melestarikan keragaman yang tersisa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau