Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eksperimen Berhasil, Akankah Transplantasi Kepala Jadi Kenyataan?

Kompas.com - 17/06/2017, 04:09 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

KOMPAS.com -- Ketika Sergio Canavero, seorang ahli bedah syaraf dari Italia, mengklaim bahwa dia akan bisa melakukan transplantasi kepala manusia pada tahun 2015, tidak sedikit yang meremehkannya dan mengira dia sedang mengada-ada.

Canavero juga tidak dianggap serius ketika dia mengklaim telah memotong dan menyambungkan kembali sumsum tulang belakang seekor anjing, walaupun kurang dari setahun kemudian, dia memublikasikan sebuah makalah yang merinci bagaimana ia membuat sekelompok tikus menjadi berkepala dua.

(Baca juga: Transplantasi Kepala Manusia Akan Dilakukan pada 2017)

Kini, Canavero, melalui studi yang dipublikasikannya dalam jurnal CNS Neuroscience and Therapeutics Volume 23 pada 14 Juni 2017, mengumumkan bahwa dia telah berhasil memutuskan sumsum tulang belakang dari beberapa tikus dan menyambungkannya kembali menggunakan campuran spesial yang disebutnya sebagai “lem”.

Kepada Newsweek, Canavero berkata bahwa eksperiman terbarunya merupakan lompatan ke depan menuju transplantasi kepala manusia pertama di dunia. “Para kritikus berkata bahwa sumsum tulang belakang tidak bisa dipulihkan sehingga transplantasi kepala manusia tidaklah mungkin, tetapi pemindaian menunjukkan bahwa sumsum tulang belakang ternyata dapat dipulihkan,” ucapnya.

Untuk eksperimennya kali ini, Canavero menggunakan sejenis plastik yang disebut polyethylene glycol (PEG) untuk meyambungkan sumsum tulang belakang tikus. Plastik tersebut sebenarnya pernah digunakan oleh para ahli bedah dalam serangkaian percobaan yang dilakukan pada tahun 1930-an dan 1940-an untuk menyambungkan sumsum tulang belakang anjing dan membuatnya berkepala dua.

YOUTUBE Sergio Canavero

Hal itu merupakan apa yang Canavero klaim telah dilakukannya pada April ini ketika dia menggambarkan proses pemasangan kepala tikus rumah ke tubuh tikus got. Ia mengulangi prosedur tersebut kepada beberapa hewan lain dan membuat serangkaian tikus berkepala dua yang hidup rata-rata selama 36 jam.

Dalam persiapannya untuk eksperimen tikus terakhirnya, Canavero juga melakukan apa yang dia sebut sebuah prosedur “pembuktian konsep” pada seekor anjing. Dia memutuskan sumsum tulang belakang anjing kemudian menyambungkannya kembali – salah satu hambatan utama untuk menyelesaikan prosedur transplantasi kepala pada manusia. Namun, ia tidak mempublikasikan secara detail berapa lama anjing itu dapat bertahan hidup.

Kini, dalam publikasi terbarunya, Canavero menjelaskan bahwa dia memotong sumsum tulang belakang tikus dan mengoleskan larutan garam pada permukaan luka untuk menghentikan pendarahan. Sembilan tikus di antaranya kemudian diobati dengan PEG dan lukanya ditutup, sementara enam tikus sisanya hanya diobati dengan larutan garam. Kedua grup tikus juga diberikan antibiotik setelah prosedur pembedahan selama 72 jam.

Canavero menulis bahwa hewan pengerat yang menerima PEG memulihkan fungsi motorik mereka dan mampu berjalan setelah 28 hari. Namun, tikus-tikus itu hanya bertahan selama satu bulan dan satu tikus di antaranya mati lebih awal.

Meski demikian, menjaga hewan dalam eksperimennya untuk tetap hidup bukanlah tujuan Canavero. Dia berkata bahwa tujuan akhirnya adalah menyempurnakan teknik transplantasi kepala manusia untuk menyelamatkan nyawa pasien.

Namun, sayangnya para ahli masih meragukan Canavero dan keberhasilan transplantasi kepala. Mereka menemukan setidaknya lima rintangan utama yang harus dihadapi oleh Canavero jika ahli syaraf bedah itu benar-benar serius ingin mentransplantasi kepala manusia:

1. Menjaga Kepala yang terputus untuk tetap hidup

Dalam berbagai transplantasi, organ donor harus dijaga tetap hidup sampai dapat ditempatkan ke dalam tubuh penerima. Sebab, begitu dilepaskan dari tubuh, organ manusia langsung memulai kematiannya. Oleh karena itu, dokter harus mendinginkan organ untuk mengurangi jumlah energi yang dibutuhkan agar sel tetap hidup.

Dengan menggunakan larutan air garam dingin, dokter dapat mempertahankan ginjal selama 48 jam, hati selama 24 jam, dan jantung selama 5-10 jam. Namun, kepala merupakan organ paling kompleks di dalam tubuh. Selain menjadi rumah bagi otak, mata, telinga, hidung, dan mulut, kepala juga memiliki dua sistem kelenjar: pituitari yang berfungsi mengontrol hormon yang mengalir ke seluruh tubuh dan kelenjar liur yang memproduksi air liur.

Sergio Canavero/CNS Neuroscience and Therapeutics Tiga hewan pengerat yang menjadi penerima kepala, hewan pengerat pendonor, dan pengerat ketiga.

Dalam prosedurnya dengan tikus, Canavero dan timnya mengklaim mereka mengatasi masalah ini dengan menjaga suplai darah tetap mengalir di antara hewan pengerat yang menjadi penerima kepala, hewan pengerat pendonor, dan pengerat ketiga.

2. Sistem imun

Masalah besar setelah prosedur transplantasi adalah reaksi dari tubuh pasien. Khususnya ketika seseorang menerima sebuah organ, sistem imun pasien dengan cepat mendeteksi substansi yang disebut antigen pada selnya. Merasakan adanya organ asing, sistem imun dapat merespon dengan serangan skala penuh.

Itulah mengapa semua pasien transplantasi menenggak obat penekan imun setelah melewati prosedur pembedahan. Namun, karena kepala sangat kompleks dan memiliki banyak organ di dalamnya, para ahli menilai risiko penolakan pada transplantasi kepala terlalu besar untuk dilakukan.

3. Kecepatan

Sekitar tahun 1970, dalam eksperimen yang mengunakan monyet, ahli bedah syaraf Robert White menunjukkan bahwa agar sebuah transplantasi kepala bisa berhasil, seluruh prosedurnya harus dilakukan dalam waktu kurang dari satu jam. Kecepatan itu diperlukan untuk menghindari kerusakan yang tidak dapat disembuhkan pada hewan.

Canavero telah menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk memaksimalkan efisiensi transplantasi pada manusia dengan memindahkan kedua kepala secara bersamaan dan menjaga kedua tubuh di bawah serangan jantung total.

4. Menyatukan sumsum tulang belakang

Agar kepala dapat berkomunikasi dan mengontrol tubuh barunya, sumsum tulang belakang dan otak harus tersambung dengan mulus. Untuk itu, Canavaro berencana akan membuat pasien koma hingga satu bulan untuk menyambungkan sumsum tulang belakang. Jika tidak, syaraf yang membentuk sumsum tulang belakang akan berbonggol dan bengkok.

Akan tetapi, koma panjang semacam itu berpotensi menimbulkan masalah baru. Harry Goldsmith, profesor bedah saraf pada University of California Davis, mengatakan kepada Popular Science, koma yang disebabkan secara medis sering mengakibatkan infeksi, pembekuan darah, dan penurunan aktivitas otak.

5. Hewan percobaan

Sebelum transplantasi kepala dianggap layak dilakukan pada manusia, semua masalah harus diselesaikan dengan uji coba pada binatang. Eksperimen semacam itu akan menghadapi banyak halangan dan rintangan untuk mendapatkan persetujuan (setidaknya di Amerika Serikat) karena dianggap terlalu kejam.

Oleh karena itu, Canavero dan timnya berencana untuk melaksanakannya di negara lain, di mana prosedur seperti itu legal untuk dilakukan. Canavero juga berkata bahwa dia berencana mereplika percobaan terbarunya dari tikus ke anjing dalam beberapa bulan ke depan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau