KOMPAS.com - Tahukah Anda soal kelapa sawit? Pernahkah Anda berpikir siapa saja yang terlibat dalam industri ini?
Misalnya petani, apa yang Anda tahu tentang mereka? Padahal, sebagai penanam dan penghasil sawit, petani mempunyai peran penting.
Sayangnya, belakangan ini kondisi petani sedang sulit karena menurunnya harga sawit.
Selama sekitar dua tahun terakhir, industri sawit di Indonesia mengalami ketidakpastian harga. Harga jual belinya fluktuatif tergantung kondisi pasar. Efeknya, pendapatan petani jadi menurun.
Seperti diberitakan harian Kompas (Senin, 27/2/2017), kemerosotan harga sawit mulai terasa dari Januari ke Februari 2017, yaitu menurun Rp 200 – Rp 300 per kilogram.
Penyebabnya adalah kondisi cuaca. Perihal ini relatif susah dihindari karena merupakan faktor alam. Ujung-ujungnya, kondisi perekonomian petanilah yang ikut terpuruk.
Melihat kejadian ini, nasib petani sawit ibarat kata pepatah: sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mereka harus berjuang untuk bertahan dalam beberapa bulan ke depan di tengah menurunnya harga dan hasil panen sawit.
Meningkatkan produktivitas
Dengan kondisi demikian, penghasilan petani kian tertekan. Petani sawit di Desa Jambi Kecil, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, mengalami hal itu.
Untuk keluar dari masalah tersebut, fokus seharusnya tak hanya jadi beban dan tanggung jawab petani. Pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Pantun Bukit, menyatakan bahwa hal itu juga harus jadi fokus pemerintah daerah.
Empat tahun lalu, pembangunan itu sempat direncanakan untuk terealisasi, tetapi hingga masa jabatan kepala daerah sebelumnya habis, wujudnya masih nihil.
Padahal, tanpa kawasan khusus industri hilir, besarnya potensi perkebunan sawit di Jambi tidak akan signifikan menyejahterakan petani dan mendorong perekonomian daerah.
Tak mau keadaan berlarut-larut, petani pun mencari sendiri solusinya. beberapa di antaranya adalah anggota Asosiasi Petani Sawit Swadaya Amanah yang terbentuk sejak 2012.
Melalui asosiasi tersebut, para petani diarahkan dan dibina untuk mengelola sawit. Sejak awal, yang jadi dasar pikiran mereka adalah bagaimana caranya menjadi petani “sakti” untuk meningkatkan produktivitas pertanian sawit.
Dari luas lahan yang mereka garap total sekitar 1.048 hektar, dipikirkan betul aktivitasnya mulai dari cara menanam, merawat, memupuk, hingga memanen sawit sesuai arahan dari salah satu perusahaan produsen kelapa sawit di Indonesia sebagai mitra.
Untuk mendukung pengerjaan harian, mereka juga punya kantor operasional di Desa Tri Mulya Jaya, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Hingga saat ini, ada 501 anggota yang bergabung di dalamnya dan tersebar di tiga desa di kecamatan tersebut.
Dalam wawancara dengan Kompas.com, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Swadaya Amanah, Narno, mengatakan bahwa lebih dari 90 persen anggota merasakan manfaat setelah menjadi anggota asosiasi itu
“Perubahan itu misalnya berdampak pada peningkatan produksi. Dulu nilai aset kebun rata-rata di bawah Rp 200 juta, sekarang meningkat jadi sekitar Rp 400 juta. Sedangkan petani yang tidak ikut asosiasi selisihnya bisa lebih dari Rp 100 juta,” ujar Narno, Rabu (12/4/2017) di Jakarta.
“Akses jalan menuju lahan mereka juga diperbaiki oleh perusahaan mitra supaya lebih gampang dilalui,” ucap Narno.
Ditambah lagi, keamanan lahan lebih terjaga sehingga tingkat kehilangan buah juga sangat minim. Sejumlah hal itu lah yang membuat nilai aset mereka jadi cepat bertambah.
Tidak ingin terlena, para anggota Asosiasi Amanah ingin agar usaha yang mereka lakukan bisa berkelanjutan. Artinya, bisa diteruskan ke anak dan cucu mereka.
Ibarat gayung bersambut, rupanya prinsip itu sejalan dengan program yang dijalankan oleh sebuah lembaga yang juga berkecimpung dalam industri sawit, yaitu Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Lembaga non-profit itu hadir dengan tujuan untuk mengawasi industri kelapa sawit agar menerapkan industri sawit yang berkelanjutan. Para petani Asosiasi Amanah sudah merasakan manfaatnya.
Kini, mereka telah mendapatkan sertifikat berkelanjutan yang seperti tiket emas untuk menambah produktivitas dan nilai jual kelapa sawitnya.
Tak hanya itu, mereka juga dibina untuk melaksanakan praktik yang terdiri unsur pribadi, pekerja, dan lingkungan.
“Unsur pribadi maksudnya mengatur situasi sesuai aturan, sedangkan unsur pekerja yaitu memperhatikan hak pekerja, serta tidak mempekerjakan anak-anak, ibu hamil, dan orang tua,” kata Narno.
Adapun unsur lingkungan maksudnya tidak memakai herbisida atau bahan kimia yang berlebihan sehingga tanah tetap terjaga kesuburannya dan bisa digarap oleh generasi selanjutnya. Di sinilah prinsip sustainability atau berkelanjutan yang dimaksud.
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Bungaran Saragih, Menteri Pertanian RI periode 2000-2004. Menurutnya, berkelanjutan juga sampai pada dampak yang lain.
“Harus ada manfaat yang dirasakan petani setelah menjadi anggota RSPO, yaitu harga yang lebih baik dan akses perdagangan ke pasar di negara maju,” kata Bungaran dalam pertemuan dengan Kompas.com pada awal April 2017.
Namun, lebih lanjut kata Bungaran, perlu ada dialog antara pemerintah, petani, beserta RSPO dan anggotanya untuk mempraktikkan prinsip-prinsip berkelanjutan.
“Sustainability itu artinya people, profit, dan planet. Dengan memasukkan petani, artinya RSPO membantu people,” tutur Bungaran.
Dengan begitu, diharapkan petani bisa merasakan peningkatan kesejahteraan dan produktivitas serta akses perdagangan yang lebih luas.
Di sisi lain, diharapkan mereka tetap merawat lahan garapan masing-masing sesuai arahan yang didapat sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga.