Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukan Seks, Inilah Alasan di Balik Kaki Mungil Wanita China

Kompas.com - 28/05/2017, 21:04 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

Sumber CNN

KOMPAS.com -- Salah satu tradisi paling mengerikan yang dipraktikkan kepada wanita China hingga awal abad ke-20 adalah mengikat kaki mereka.

Disebut sebagai kaki teratai, tradisi ini mematahkan jari-jari dan lengkungan kaki wanita untuk diikatkan ke tumit dengan kain. Hasilnya adalah kaki yang panjangnya hanya 10 sentimeter, sering terinfeksi, dan mudah patah.

Selama ini, para peneliti mengira tradisi tersebut sebagai cara untuk mendapatkan calon suami yang lebih baik dan simbol status. Mereka beranggapan bahwa tradisi mengikat kaki dilakukan oleh wanita-wanita berstatus sosial tinggi karena mereka tidak perlu bekerja keras atau berjalan jauh.

“Menurut pandangan konvensional, (tradisi) ini ada untuk menyenangkan pria. Para pria China pada masa lalu dikira suka dengan kaki yang kecil,” ucap Laurel Bossen, penulis buku Bound feet, Young hands.

Namun, penelitian Bossen mengungkapkan hal yang berbeda. Bukannya hidup dalam kemewahan, Bossen berkata bahwa gadis-gadis China yang kakinya diikat memiliki fungsi ekonomi yang sangat penting, terutama di pedesaan yang gadisnya mulai memintal, menenun, dan menjahit dengan tangan.

Faktanya, mengikat kaki justru digunakan sebagai cara untuk memaksa gadis-gadis kecil tersebut untuk duduk diam dan membuat barang-barang seperti benang, kain, sepatu, dan jala selama berjam-jam yang dibutuhkan oleh keluarganya untuk mencari nafkah.

Bossen mengatakan, Anda harus menghubungkan tangan dengan kaki. Wanita-wanita yang kakinya diikat membuat kerajinan tangan yang sangat penting di industri rumahan. Gambaran bahwa mereka adalah tropi seksual yang tidak melakukan apa-apa adalah distorsi sejarah yang sangat fatal.

Seorang wanita lansia di Yunnan, China dengan kaki teratai

Dalam pencariannya untuk menemukan pemahaman yang lebih dalam mengenai tradisi ini, professor emerita di bidang antropologi dari McGill University, Montreal ini mewawancarai 1800 wanita lansia di China yang merupakan generasi terakhir dari tradisi kaki teratai bersama rekannya, Hill Gates yang juga professor emerita di bidang antropologi dari Central Michigan University.

Mereka menemukan bahwa wanita-wanita tersebut sama sekali tidak malu untuk bercerita mengenai kaki mereka yang menandakan bahwa tradisi tersebut bukanlah sebuah fetish seksual.

Lalu, tradisi ini juga bertahan paling lama di daerah-daerah yang memproduksi barang-barang rumahan dan tergerus ketika alternatif yang dibuat di pabrik tersedia di pasaran dengan harga yang lebih murah.

Bossen menuturkan, anak-anak perempuan di China pada masa lalu mulai memintal benang di usia enam atau tujuh tahun. Ini adalah usia yang sama ketika kaki mereka mulai diikat.

“Ibuku mulai mengikat kakiku ketika aku berusia 10 tahun. Di usia tersebut, aku mulai memintal kapas. Setiap kali dia mengikat kakiku, rasanya sangat sakit sampai aku menangis,” ujar salah seorang responden wanita yang lahir pada tahun 1933 kepada para peneliti.

Tradisi mengikat kaki bermula pada dinasti Song (tahun 920-1279) dan menyebar dari lingkaran kerajaan ke kaum-kaum kaya sebelum berpindah ke kota dan pedesaan. Pada abad ke-19, tradisi ini telah tersebar luas dan diikuti oleh masyarakat di seluruh China.

Namun, tradisi tersebut mulai pudar di awal abad ke-20 ketika para misionaris dan reformis mengkampanyekan ideologi mereka. Langkah tersebut diikuti oleh pemerintah nasionalis dan para pemimpin komunis yang akhirnya melarang praktik kaki teratai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau