KOMPAS.com - Karakteristik otak menentukan karakter seseorang, begitu menurut neurologi. Religiusitas seseorang pun ditentukan oleh otaknya.
Jordan Grafman dari Northwestern University baru-baru ini melakukan studi tentang otak dan ekstremisme agama.
Grafman mempelajari data otak 119 prajurit yang mengalami cedera otak pada masa Perang Vietnam. Data itu telah dikumpulkan sejak masa Perang Vietnam dan dimanfaatkan untuk penelitian.
Menurut temuan yang dirilis di jurnal Neuropsychologia Mei 2017, ekstremisme agama bisa terjadi karena ada kerusakan pada bagian ventromedial prefrontal cortex.
Ventromedial prefrontal cortex berada pada bagian depan otak dan telah diketahui terkait dengan sistem kepercayaan seseorang.
Studi mengungkap, makin banyak kerusakan pada bagian itu, makin ekstrem pula kepercayaan seseorang. Selain memengaruhi ekstremisme, kerusakan juga menyebabkan penurunan kecerdasan dan karakter kurang terbuka.
Diberitakan Psypost, 1 Mei 2017, Grafman mengungkapkan bahwa studi itu memiliki keterbatasan pada gender dan asal muasal seseorang.
"Kami memakai otak prajurit Vietnam yang mengalami dan tidak mengalami cedera otak. Keterbatasan pada generalisasi kelompok lain seperti perempuan, orang dari negara lain, dan dari budaya dan sistem agama berbeda," katanya.
Namun demikian, studi itu tetap penting untuk mengungkap kaitan antara otak dan kepercayaan seseorang. Riset lain yang perlu dilakukan adalah pengaruh sosial.
"Meskipun kepercayaan pada agama dan lainnya bisa dipelajari elektif dan terpisah dari kognisi dan proses sosial lainnya, ketergantungannya pada, dan interaksinya dengan, fungsi otak akan menjadi area studi yang penting," ungkap Grafman.