Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seorang Laki-laki Minta Disuntik Mati, Bagaimana Kita Harus Menyikapi?

Kompas.com - 07/05/2017, 18:29 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Seorang laki-laki bernama Berlin Silalahi menjadi perbincangan karena minta disuntik mati. Dia merasa penderitaannya sudah terlalu berat dan sulit mendapatkan penyembuhan.

Tahun 2004, ia dan keluarganya menjadi korban tsunami Aceh. Penderitaan berlanjut ketika dia didiagnosis menderita radang tulang yang berujung kelumpuhan pada 2014.

Kesulitan datang bertubi-tubi. Barak yang menjadi tempat tinggal Berlin, istrinya Ratna serta anak-anaknya pun dibongkar Satpol PP.

Berlin memang sempat mendapatkan peringatan pembongkaran barak. Namun, ia kemudian mendapatkan surat dari Gubernur Soedarmo dan Zainal Abdullah tentang penundaan pembongkaran.

Namun, ia kaget saat suatu hari menemui baraknya tengah dibongkar. Peristiwa pembongkaran itu jadi puncak keputusasaan Berlin hingga akhirnya minta disuntik mati.

Baca Juga: Suami yang Ajukan Suntik Mati: Saya Sudah Tidak Tahan Lagi

Pemberitaan tentang kasus Berlin mendapatkan respon beragam dari publik, diantaranya tercermin di kolom komentar media sosial Kompas.com.

Titi Umiyati misalnya, mengatakan, "Memilih mati sebelum ketentuan Allah datang bukan jalan penyelesaian. Setelah mati, akan ada ujian yang lebih buruk...."

Sementara, Anto Loco mengatakan, "Memilih suntik mati? Oalah... Itu sama saja bunuh diri. Bila Anda seorang muslim, maka perbuatan itu sangat dilarang."

Menteri sosial Khofifah Indar Parawangsa mengunjungi Berlin. Ia mengatakan, suntik mati dilarang oleh Islam maupun hukum di Indonesia.

Jadi Bahan Refleksi

Akademisi dari Pusat Pengembangan Etika, Universitas Atma Jaya Jakarta, Sintak Gunawan, mengatakan, kasus Berlin harus menjadi bahan refleksi.

"Jika seseorang merasa tidak ditinggalkan, biasanya dia tidak akan minta dieutanasia," ungkap Sintak saat dihubungi Kompas.com, Minggu (7/5/2017).

Baca Juga: Apa Kata Hukum Indonesia tentang Eutanasia?

Sintak mengungkapkan, hal pertama yang bisa dilakukan pemerintah setempat adalah mengidentifikasi masalah utama Berlin.

Pemerintah daerah bisa merangkul rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan, melihat kemungkinan penyembuhan penyakit Berlin.

Jika penyakit sulit disembuhkan, rumah sakit bisa melihat kemungkinan Berlin menerima perawatan paliatif, hanya membantu meredakan sakit.

"Jadi kita tidak langsung memenuhi keinginan pasien, tetapi benar-benar membantu pasien keluar dari penderitaan," ungkapnya.

Sementara, masyarakat sendiri tidak bisa hanya menyatakan larangan eutanasia, tetapi dapat berperan membantu korban.

"Kasus ini seharusnya mengetuk kepedulian kita, bagaimana kita saling membantu sehingga orang tidak cepat putus asa," terangnya.

Terkait eutanasia itu sendiri, Sintak mengungkapkan, di negara maju pun prosedurnya sulit. Di Belanda, suntik mati harus menurut permintaan orang yang bersangkutan.

Selain itu, penderitaan yang diderita harus luar biasa, tidak ada harapan untuk sembuh, dan tidak ada teknologi untuk mengupayakan kesembuhan.

"Alasan ekonomi tidak diperbolehkan. Orang tidak boleh dieutanasia hanya karena tidak mampu membayar rumah sakit," jelasnya.

Baca Juga: Melogika Eutanasia, Indonesia Melarang, Kok Belgia Melegalkannya?


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com