KOMPAS.com – Penyuka sajian ikan laut sebaiknya perlu waspada. Riset yang dilansir jurnal nature pada 2015 mendapati banyak ikan laut terkontaminasi limbah plastik.
Riset tersebut mengambil sampel dari ikan yang dijual oleh pasar-pasar di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dan Califonia, Amerika Serikat. Hasilnya, kedapatan butiran plastik di usus ikan sampel dari pasar tersebut, sementara dalam ikan asal pasar California ditemukan plastik berbentuk serat dengan kadar sampai 80 persen.
“Menurut kami, perbedaan kandungan limbah pada ikan terjadi karena pola pengelolaan sampah plastik yang berbeda di masing-masing negara,” papar Chelsea Rochman, peneliti dalam riset itu, seperti ditulis pulseheadlines.com, Minggu (27/11/2015).
Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebut pula, tingkat kecemaran ikan di perairan Makassar terhadap limbah plastik sudah mencapai 22 persen.
Riset lanjutan, sebut dia, akan digelar di 15 kota lain. Gunanya, untuk melihat apakah ikan-ikan di sana juga tercemar limbah plastik atau tidak.
“Walau tingkat kecemaran ikan di Makassar belum setinggi di California yang sudah mencapai 64 persen, pemerintah mulai waspada," kata Luhut seperti dikutip Kontan, Jumat (24/3/2017).
Terlebih lagi, sebelumnya juga sudah ada riset dari Jenna Jambeck dan kawan-kawan pada 2015, yang menyebut Indonesia merupakan negara penyumbang nomor dua terbanyak sampah plastik ke laut. Sampah yang dihasilkan mencapai 187,2 juta ton.
Bahaya laten plastik
Kondisi tersebut jelas mengkhawatirkan tak hanya bagi ekosistem laut, tetapi juga bagi kesehatan manusia yang menyantap ikan tercemar limbah plastik.
"Yang namanya plastik, kenapa (dia) berbahaya karena dia tidak bisa terurai ketika berada di alam. Diperkirakan baru bisa terurai dalam waktu 400 tahun," kata Siti seperti dimuat Kompas.com, Minggu (31/7/2017).
Lagi pula meskipun ada plastik ramah lingkungan berlogo biodegradable sekalipun tetap tak bisa terurai di lautan. Merujuk laporan PBB untuk konvensi badan lingkungan hidup (UNEA) di Nairobi, Kenya, Senin (23/05/2016), plastik ramah lingkungan baru bisa terurai bila memenuhi sejumlah kondisi.
Untuk terurai, papar laporan itu, plastik biodegradable membutuhkan suhu minimal 50 derajat Celcius, serta terpapar langsung radiasi ultraviolet sinar matahari dan udara. Semua syarat itu tak terpenuhi di bawah laut, yang bertambah dalam akan cenderung makin gelap, dingin, dan minim oksigen.
Ada terobosan?
Terobosan untuk meminimalkan masalah plastik pun jadi makin mendesak karenanya. Butuh upaya bersama, tak cuma mengandalkan Pemerintah.
Pemikiran inilah yang kemudian menggelitik Bastian, Sherli, Raymond, Graciella, Elisa, Ernest, Fabian, dan Daniel—delapan mahasiswa Indonesia International Institute for Life Science (i3L)—dan memunculkan ide membuat sendok "plastik" yang ramah lingkungan sekaligus aman dimakan. Mereka menyebutnya Cutler Eat.
Sendok ini bisa dimakan karena terbuat dari tepung terigu, beras, dan sorgum. “Komposisi tepung sorgum lebih banyak, yaitu satu setengah cup dibanding tepung terigu dan beras yang hanya satu cup saja. Adapun satu cup penuh dapat memuat 185 gram tepung “ ujar Elisa Evelyn kepada Kompas.com, Kamis (30/3/2017).
Takaran sorgum, lanjut Elisa, sengaja dibuat lebih banyak karena bahan tersebut memiliki sifat perekat. Adapun tepung terigu dan beras berfungsi sebagai kandungan nutrisi. Dicampur dengan tiga sendok teh gula pasir, setengah sendok garam, dan dua gelas air, adonan tiga bahan itu siap dibentuk jadi sendok lalu dipanggang selama 30 menit.
Menurut Elisa, Cutler Eat bisa tahan tak hancur di air dingin selama 30 menit dan air panas 15 menit, meski terbuat dari tepung-tepungan. “Cutler Eat yang masih dalam kemasan punya masa kadarluasa dua tahun. Namun, bila sudah tidak dalam kemasan hanya tahan selama tiga hari,” kata Elisa.
Rencananya, Cutler Eat juga akan dibuat dalam wujud garpu, pisau, dan bahkan sumpit.
Produk dan rencana bisnis ini merupakan bagian dari tugas akhir kuliah mereka berdelapan semester satu di i3L, kampus yang menerapkan kurikulum internasional berbasis paduan sains dan bisnis.
“Sebagai syarat kelulusan semua mahasiswa diharuskan membuat business plan. Jadi saat lulus selain dapat gelar mereka juga dapat bisnis untuk memasarkan produk temuannya,” ujar Head of Study Program Entrepreneurship, Budi Santoso, kepada Kompas.com, Senin (16/1/2017).
Setidaknya, kedelapan mahasiswa dan ide Cutler Eat ini juga sudah memulai satu upaya meminimalkan sampah plastik. Tak perlu menunggu semua ikan di laut benar-benar telah tercemar limbah tak terurai itu untuk mulai membuat upaya terobosan, bukan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.