Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpanggil untuk Menjaga Kesehatan Masyarakat Pedalaman

Kompas.com - 27/03/2017, 18:15 WIB

KOMPAS.com - Data Kementrian Kesehatan menyebutkan, Provinsi Papua dan Papua Barat jadi daerah paling tidak diminati dokter yang mendaftar sebagai dokter dan dokter gigi pegawai tidak tetap (PTT). Padahal, kedua provinsi dengan kondisi kesehatan tertinggal itu sangat membutuhkan keahlian tenaga kesehatan.

Kebanyakan dokter yang baru lulus biasanya berharap bisa diterima praktik di rumah sakit yang fasilitasnya lengkap di kota. Tetapi, tidak demikian halnya dengan dr.Milka Tiranda. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado, pada tahun 1994, ia memilih untuk PTT di Puskesmas di Manokwari, Papua Barat.

Perempuan yang lahir dan besar di Biak ini membaktikan dirinya di puskesmas itu selama tiga tahun. Di tempat ini pula ia bertemu jodohnya, dr.Adi Ignatius Poerwanto Sp.A.

"Saya beruntung mendapat jodoh yang sehati, sama-sama ingin mengabdi pada masyarakat," kata Milka yang ditemui di RS Waa Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua.

Milka kemudian tinggal di Semarang mengikuti suaminya yang melanjutkan pendidikan sebagai dokter spesialis anak. Setelah lulus dan melamar sebagai pegawai negeri, lagi-lagi saat menjalani ikatan dinas pasangan ini memilih untuk ditempatkan Papua. Mereka pun menetap di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.

Setelah selesai ikatan dinas, pasangan yang dikaruniai dua anak ini lalu pindah ke Timika, Kabupaten Mimika, karena Adi ditawari pekerjaan oleh International SOS, perusahaan provider tenaga kesehatan untuk daerah terpencil.

Sang suami kemudian bertugas di RS Tembagapura yang melayani karyawan PT Freeport Indonesia dan RS Waa Banti untuk suku-suku di sekitar lokasi pertambangan Freeport.

"Saat di Timika, saya menganggur selama dua tahun karena sudah tidak menjadi PNS lagi. Kegiatan sehari-hari hanya mengurus anak," ujarnya.

Turun ke desa

Jalan hidup kembali membawanya terjun ke masyarakat. Di tahun 2006, Milka ditawari bekerja di Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) yang mengelola program CSR PT Freeport Indonesia di bidang kesehatan. Ia mendapat tugas dalam bidang pemberdayaan masyarakat di Waa Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika.

Fokus utamanya bukanlah pengobatan (kuratif), tetapi pencegahan penyakit (promotif dan preventif).

Milka merasa tak kesulitan dengan tugasnya tersebut karena ia sudah memiliki banyak pengalaman sebagai dokter puskesmas. "Awalnya saya hanya memberi penyuluhan di RS Waa Banti, tapi rasanya kurang efektif," ujarnya.

Ia kemudian memilih "jemput bola" ke kampung-kampung di tiga desa, yakni Waa Banti, Arwanop, dan Tsinga, yang merupakan wilayah binaan LPMAK, bersama perawat dan satu staf lainnya.

Di kampung-kampung di pegunungan itu, Milka memberi penyuluhan kesehatan dan juga pengobatan. Ia lalu membentuk kader posyandu dan kader tuberkulosis-HIV di setiap kampung. Saat ini total sudah ada 60 kader yang merupakan perpanjangan "tangannya" di wilayah kerjanya. 

Salah satunya kader tersebut Upe Magai (30). Pria yang sehari-harinya berkebun keladi dan mendulang emas itu menjadi Pengawas Minum Obat (PMO) tuberkulosis untuk 15 orang warga kampungnya di Kembeli, Tembagapura. Secara rutin Upe akan mengingatkan "pasien-pasiennya" untuk minum obat atau datang ke rumah sakit jika obatnya habis.

Kompas.com/Lusia Kus Anna Dr.Milka Tiranda, ahli kesehatan masyarakat di RS Waa Banti, Tembagapura, Papua.
Desa-desa yang menjadi wilayah kerja Milka pada umumnya tidak memiliki akses jalan dan hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki atau menggunakan helikopter. Listrik dan sinyal telepon adalah hal langka di sana. Setiap bulan selama beberapa hari ia terbang ke kampung-kampung itu menggunakan helikopter bantuan PT Freeport Indonesia.

"Biasanya saya tiga hari ada di desa-desa itu. Memberi imunisasi, pengobatan, pemeriksaan TB-HIV, dan juga penyuluhan kesehatan," ujarnya.

Dari titik tempat perhentian helikopter, ia dan timnya akan berjalan kaki menuju desa-desa yang tidak bisa dijangkau puskesmas. "Jalan kaki naik turun bukit sekitar dua jam sudah biasa. Kalau cuacanya buruk, helikopter tidak bisa menjemput sehingga jadwal kepulangan bisa molor," katanya.

Walau harus menantang fisik, tetapi Milka sangat mencintai pekerjaannya. "Kondisi medan memang melelahkan, tapi semua terbayarkan dengan sikap tulus mereka, apalagi kalau nasihat kita diikuti," ujarnya.

Sebagai dokter kesehatan masyarakat, target Milka adalah membuat masyarakat mampu menjalankan pola hidup bersih dan sehat untuk mencegah penyakit. Ia juga sempat melanjutkan studinya di bidang kesehatan masyarakat selama dua tahun di UGM. Setiap dua bulan sekali ia akan pulang ke Tembagapura dan berkeliling lagi ke desa-desa.

"Dulu waktu saya pertama terjun ke kampung-kampung, banyak mama-mama yang ingusan seperti anak kecil. Sekarang sudah tidak lagi. Bahkan, mereka juga sudah bisa mengenali sedikit-sedikit gejala penyakit seperti pneumonia atau tuberkulosis," katanya senang.

Berkat kehadiran kader-kader binaannya, kini tingkat putus obat pasien tuberkulosis semakin rendah. Demikian juga dengan kedisiplinan orang dengan HIV untuk terus minum obat. Kesadaran untuk mendapat imunisasi juga meningkat.

Keberhasilan Milka itu tidak mudah. Sejak awal ia berusaha membaur dengan masyarakat.

"Saat ke kampung, saya harus rela tidur di rumah warga beralas tikar. Kalau ditawari makanan pun tidak boleh jijik meski tangan mereka saat memasak kotor. Pelan-pelan saya ajari pentingnya menjaga kebersihan tangan," katanya.

Ia juga berupaya mengikuti jadwal kegiatan warga desa. "Tidak gampang mengumpulkan warga untuk mendengar penyuluhan. Jadi saya yang menyesuaikan dengan ikut kegiatan ibu-ibu ke kebun, ke gereja, atau mendulang emas," paparnya.

Tantangan medan yang berat dan cuaca bukanlah satu-satunya hambatan yang dihadapi Milka. Karena suku-suku di distrik Tembagapura ini sering berperang, terpaksa Milka dan timnya tidak bisa datang ke desa-desa.

Ia dan tenaga kesehatan di RS Waa Banti juga pernah dikawal polisi dan tentara untuk mencapai rumah sakit karena lokasi peperangan ada di dua kampung di sekitar rumah sakit.

"Kalau sedang ada perang, kami hanya di rumah sakit Waa Banti saja. Kalau ada korban yang darurat baru dijemput helikopter untuk dirawat," katanya.

Membagi talenta

Walau sebenarnya punya banyak kesempatan untuk hidup nyaman dengan berpraktik di kota, namun Milka dan suami memiliki keinginan kuat memajukan masyarakat Papua.

"Mereka sebenarnya punya tanah yang kaya, seharusnya mereka lebih maju dari daerah lain. Saya juga sudah diberi talenta oleh Tuhan, sudah selayaknya saya bagikan pada mereka yang membutuhkan," katanya.

Dalam menjalankan tugasnya ke desa pedalaman, Milka terkadang mengajak kedua buah hatinya untuk merasakan langsung pengalaman turun ke masyarakat.

"Sejak mereka SD dan SMP, setiap libur pasti saya ajak ke kampung-kampung jalan kaki," katanya.  

Milka merasa bahagia karena putra keduanya, Geraldus Randi Ardanto (19) tertarik mengikuti jejak ayah ibunya menjadi dokter. "Ia baru tingkat satu di Fakultas Kedokteran UGM. Kalau kakaknya yang perempuan malah tertariknya ke jurusan teknik," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com