Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/03/2017, 06:45 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Infografik deteksi dan respons gelagat bunuh diri

KOMPAS.com - Pada 2016, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan Indonesia dalam 10 besar negara dengan kasus bunuh diri terbanyak di dunia. Mengenali secepat mungkin pertanda bunuh diri, bisa jadi akan menyelamatkan setiap nyawa dari tindakan ini.

(Baca: 10 Negara dengan Angka Bunuh Diri Tertinggi di Dunia)

Pada sejumlah kejadian yang terendus media massa, gelagat seseorang punya niat bunuh diri kerap tak mendapatkan respons yang tepat.

"Waktu dibilang ada yang nge-live-in itu, saya kira cuma bohong-bohongan atau malah bahan bercandaan," aku Febri, salah satu pengguna aktif media sosial saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (22/3/2017).

Febri mengaku terkejut ketika tahu bahwa kabar itu sungguhan dan orang dimaksud benar-benar meninggal.

Kasus bunuh diri ditengarai punya korelasi kuat dengan masalah kesehatan mental, terutama depresi. Belum ada riset yang secara spesifik dapat menyebutkan penyebab pasti tragedi seperti ini, meski sejumlah faktor pemicunya sudah teridentifikasi.

(Baca: Kenali Gejala Depresi, Pemicu Utama Bunuh Diri)

Faktor genetik, trauma, dan kondisi sosial tempat seseorang berdomisili atau beraktivitas, ada di antara deretan temuan yang ditengarai memicu depresi dan bahkan bunuh diri.

Keriuhan media sosial menjadi tambahan pemicu kekinian. Sejumlah riset menguatkan dugaan korelasi antara masalah mental dan pemakaian berlebihan jejaring di dunia maya tersebut.

(Baca juga: Einstein, Zuckerberg, dan Misteri Mentalitas Generasi Medsos)

Respons yang salah juga kerap datang berupa nasihat-nasihat "penuh kebajikan dan kebijakan". Pada orang yang sudah pada titik sedemikian putus asa, saran semacam itu bakal menjadi "angin surga" yang nyaris tak terdengar lagi.

"Psikiater yang pernah saya wawancara bilang, niat bunuh diri tidak boleh direspons dengan nasihat motivasi apalagi menganggap ungkapan itu sebagai hal yang tidak serius," tutur Rani, salah satu wartawan yang pernah bertugas di peliputan kesehatan.

Nah, sejumlah kalangan di Indonesia mulai tergugah tentang perlunya edukasi dan respons yang tepat untuk gelagat bunuh diri. Sebut saja di antaranya adalah sekelompok anak muda yang sukarela bergabung dalam kelompok Into the Light.

Kementerian Kesehatan pernah pula meluncurkan sambungan telepon cepat (hotline) untuk indikasi depresi dan gelagat bunuh diri. Sayangnya, nomor tersebut tak ada yang mengangkat saat Kompas.com mencoba menghubunginya pada Rabu malam.

Dari ranah media sosial, Facebook sudah membangun fitur penyaring khusus untuk mencegah kasus bunuh diri. Selain itu, fitur komunitas dan bantuan mereka menyediakan juga ruang edukasi bagi setiap orang yang "kepikiran" mau menempuh jalan pintas mengkhiri hidup.

Tersedia pula sederet informasi langkah bagi orang lain yang mendeteksi gelagat bunuh diri dari unggahan di dinding muka kenalannya. Disertakan pula hotline yang bisa dihubungi berdasarkan negara. Namun, lagi-lagi, belum ada data untuk Indonesia.

Meski demikian, semua situs dan platform yang berbagi pengetahuan soal pengenalan gelagat dan pencegahan bunuh diri menekankan pentingnya lingkungan sosial menjaga kepedulian.

Lagi pula, bukankah sejatinya manusia memang makhluk sosial dengan naluri saling jaga, saling bantu, dan saling mengingatkan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com