Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/03/2017, 11:02 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Di antara gelagat masalah itu mencakup depresi, percaya diri yang rendah, hingga buruknya kualitas tidur pengguna aktif media sosial.

Riset terbaru dari University of Pittsburgh Schools of the Health Sciences—yang diumumkan pada 19 Desember 2016—bahkan sudah bisa memberi sinyal awal depresi pada pengguna media sosial. Indikator pertama yang dipakai adalah jumlah pemakaian platform media sosial.

Daripada memakai indikator waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi di media sosial, riset ini mendapati jumlah penggunaan aktif platform jejaring sosial lebih kuat korelasinya dengan gejala depresi dan kegelisahan bahkan kecemasan berlebihan di kalangan anak muda.

“Kaitan (jumlah platform yang dipakai dengan gejala masalah mental) itu cukup kuat bagi para dokter mempertimbangkan pasiennya menderita depresi  dan kegelisahan, untuk lalu memberi mereka konseling,” ungkap Brian A Primack, ketua tim riset ini dalam publikasi tersebut.

Masih ada misteri

Lalu, kapan kita harus mewaspadai diri atau orang lain mulai punya gejala depresi atau kegelisahan terkait penggunaan media sosial?

Riset berbasis survei atas 1.787 orang berusia 19-32 tahun yang aktif media sosial oleh tim Universitas Pittsburg tersebut mendapati, pengguna sekaligus 7-11 platform media sosial punya risiko 3,1 kali lebih besar menderita depresi dan kecemasan dibanding pemakai 0-2 media jejaring sosial pada satu waktu.

Risiko meningkat lagi menjadi 3,3 kali lebih besar untuk penggunaan lebih dari 11 platform media sosial. Temuan dari jumlah pemakaian platform itu tak banyak berubah, sekalipun sudah dibandingkan dan disesuaikan dengan data lama pemakaian media sosial dari setiap responden.

Riset ini menggunakan alat pengukur berupa kuosioner dan peranti penguji standar gejala depresi. Namun, Primack mengakui pula, masih banyak tersisa pertanyaan terkait hubungan antara penggunaan media sosial dan indikasi persoalan kesehatan mental. 

Menurut Primack, masih butuh lebih banyak riset untuk bisa menghasilkan kesimpulan lebih jelas soal kaitan antara media sosial dan masalah kesehatan mental.

“Bisa jadi mereka yang punya gejala depresi dan kecemasan—atau keduanya sekaligus—cenderung menggunakan lebih banyak media sosial, untuk mencari perasaan nyaman dan penerimaan. Sebaliknya, bisa juga diartikan, mereka yang benar-benar mencoba mengelola kehadiran di  berbagai media sosial ini punya indikasi depresi dan kecemasan,” papar Primack.

ilustrasi khayalan media sosialThinkstock/Aleutie ilustrasi khayalan media sosial

Penulis lain dalam riset tersebut, Cesar G Escobar-Viera, menambahkan, memahami cara dan pengalaman pemakai pengguna media sosial akan menjadi tahapan kritis dalam riset berikutnya, selain upaya mencari tipe spesifik gejala depresi dan kecemasan terkait penggunaan jejaring sosial.

“Yang terpenting, kami ingin riset ini membantu upaya perancangan dan penerapan intervensi edukatif soal kesehatan publik untuk kebutuhan yang personal sekalipun,” imbuh Escobar-Viera.

Menagih peduli

Zuckerberg dan kru-nya pun tak tinggal diam menyikapi fenomena pemanfaatan melenceng dari platform besutan mereka.

Seperti diberitakan Kompas.com, Kamis (2/3/2017), Facebook sudah menyiapkan peranti berbasis kecerdasan buatan  (artificial intelligence atau AI) untuk menyaring gejala bunuh diri atau penyakit mental seperti depresi dari postingan para penggunanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com