Teori Baru Mengungkap, Sahara Jadi Gurun Gara-gara Manusia

Kompas.com - 19/03/2017, 21:29 WIB
Monika Novena

Penulis

KOMPAS.com - Sahara yang kini dikenal sebagai gurun terluas di dunia dengan curah hujan yang ekstrem minim dahulu merupakan padang rumput yang subur.

Setidaknya, itulah teori baru yang diungkapkan oleh David Wright, arkeolog dari Seoul National University, dan Jessica Tierney dari University of Arizona.

Wright dan Tierney mengungkapkan, Sahara tidak tercipta sebagai gurun pada awalnya. Migrasi dan aktivitas bercocok tanam manusia pada 8.000 tahun lalu yang mengubahnya.

"Dahulu Sahara 10 kali lebih basah daripada saat ini," kata Tierney seperti dikutip Science Alert pada Rabu (15/3/2017).

Manusia membuka lahan untuk beternak dan bertani. Ketika lahan sudah tidak subur, manusia meninggalkannya. Pada akhirnya, lanskap sahara pun berubah.

Saat lanskap berubah, Sahara secara langsung terpapar sinar matahari. Panas matahari memantul ke atmosfer, meciptakan udara kering.

Pengaruh monsun di kawasan Sahara yang semula kuat pun melemah. Akhirnya, gurun tersebut memiliki curah hujan yang minim.

Wright menguatkan teorinya dengan sejumlah bukti arkeologi. Ia mengatakan, ada jejak sungai purba, tanaman, dan hewan yang terpendam di bawah permukaan Sahara.

Jejak arkeologis itu diklaim sebagai bukti bahwa Sahara pernah hijau. Diperkirakan, periode hijau Sahara terjadi pada 16.000 - 6.000 tahun lalu, pada Periode Lembab Afrika.

Saat ini, banyak ilmuwan menganggap bahwa Sahara tercipta karena perubahan sumbu rotasi bumi yang terjadi dalam kurun waktu 20.000 tahun.

Namun Wright tidak sependapat dengan teori itu. Menurutnya, perubahan sumbu rotasi bumi memang memberi dampak tetapi tidak besar.

"Di Asia Timur, ada teori yang telah lama berkembang yang menyebutkan bagaimana populasi manusia Neolitik mengubah lanskap sehingga monsun berhenti masuk ke daratan lebih dalam," katanya.

Wright masih perlu memperkuat teorinya. Ia mengatakan, perlu melakukan penggalian untuk mendapatkan lebih banyak buktyi arkeologis dan perubahan vegetasi.

Studi Tierney dan Wright dipublikasikan di Frontier of Earth Sciences dan Sciences Advances pada bulan Maret ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau