Mengenal Kereta Hyperloop, Bagaimana Bisa Bergerak Setara Kecepatan Suara?

Kompas.com - 10/03/2017, 13:16 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Bepergian tanpa macet dengan kecepatan tinggi sehingga bisa sampai tujuan dengan cepat menjadi impian banyak orang. Salah satu gagasan untuk mewujudkan impian itu adalah kereta hyperloop, alat transportasi yang akan bergerak nyaris setara dengan kecepatan suara, menghubungkan Jakarta-Yogyakarta hanya dalam 25 menit.

Bagaimana sebenarnya konsep kereta hyperloop yang diperkenalkan ke Indonesia oleh Bibop G Gresta, co-founder Hyperloop Transportation Technologies, dua hari lalu itu? Bagaimana bisa menghubungkan Jakarta-Yogyakarta dalam waktu lebih singkat dari pesawat?

(Baca juga Transportasi Canggih Kereta Hyperloop, Jarak Jakarta-Yogyakarta hanya 25 Menit)

Konsep transportasi semacam hyperloop sebenarnya sudah digagas beberapa dekade lalu. Namun, gambaran gamblang hyperloop baru ada pada tahun 2012, diuraikan oleh Elon Musk, seorang visioner yang juga pendiri perusahaan teknologi antariksa SpaceX.

Musk menggagas kereta hyperloop sebagai alat transportasi yang bergerak dalam sebuah tabung panjang. Penumpang diangkut dengan kapsul-kapsul yang masing-masing bermuatan 28 orang. Jalur kereta hyperloop sendiri merupakan jalur layang, dibangun di atas pilar beton.

Empat rahasia

Hyperloop tidak hanya menggunakan prinsip elektromagnet seperti kereta peluru maglev tetapi juga mengadopsi prinsip termodinamika dan dinamika fluida. Secara umum, ada 4 hal penting yang membuat hyperloop mampu bergerak cepat.

Pertama, hyperloop digerakkan oleh dua motor elektromagnetik. Dengan ini, hyperloop diharapkan bisa mencapai kecepatan hingga 1.200 km/jam. Sebagai gambaran, kecepatan pesawat kini sekitar 900 km/jam dan kecepatan kereta maglev 600 km/jam.

Kehebatan utama kereta hyperloop terletak pada hal penting kedua, kipas angin raksasa dan kompresor. Dalam dokumen setebal 57 halaman yang dirilis tahun 2012, Musk mengungkapkan, dua alat itu berguna untuk melampaui Kantrowitz Limit, hukum gerak dalam tabung yang diungkapkan Arthur Kantrowitz, fisikawan Amerika Serikat.

Kantrowitz Limit menyatakan, saat sebuah benda bergerak dalam tabung semivakum, udara di bagian benda itu akan termampatkan. Pada akhirnya, udara itu yang justru menghambat kecepatan gerak benda. Ini persis seperti jarum suntik. Kipas angin raksasa dan kompresor membantu mengalirkan udara ke dalam kapsul dan sekitarnya.

Komponen penting ketiga adalah air bearing. Pada dasarnya, air bearing adalah bantalan sepanjang 1,5 meter yang digunakan untuk menciptakan udara bertekanan rendah. Air bearing akan membantu kapsul bergerak melayang, persis seperti interaksi magnet dengan kutub yang sama pada kereta cepat Shinkansen.

Bagaimana caranya? Kipas angin raksasa dan kompresor akan mengantarkan udara ke air bearing ini. Udara lantas diubah tekanannya menjadi lebih rendah. Dengan ini, udara membantu melayang sekaligus meminimalkan gesekan dengan tabung, memaksimalkan kecepatan.

Memang, udara sendiri menciptakan gesekan. Idealnya, kereta hyperloop bergerak di ruang hampa udara agar kecepatannya maksimum. Namun menurut Musk, menciptakan ruang hampa sejauh ratusan kilometer itu tidak mungkin. Maka yang dipilih adalah menciptakan ruang dengan udara bertekanan rendah.

Hal penting keempat adalah jalur kereta hyperloop. Musk mengungkapkan, hyperloop sebaiknya bergerak di jalur layang. Jalur itu dibangun di atas pilar mirip jembatan layang. Masing-masing pilar menampung satu tabung. Nantinya, satu sama lain akan dihubungkan.

Setiap pilar dirancang sedemikian sehingga bisa tahan terhadap goncangan gempa sekaligus bisa menahan beban yang bergerak cepat. Bagian atas tabung lintasan hyperloop sendiri dilengkapi panel surya yang membangkitkan energi hingga 57 MegaWatt per tahun.

Dengan konsep Musk itu, hyperloop menjadi transportasi yang bukan hanya cepat tetapi juga relatif tak terganggu gempa dan cuaca. Tantangannya membangun membangun jalur yang sesuai standar sehingga benar-benar bisa tahan gempa.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau