Oleh Budi Hartanto*
KOMPAS.com - Perkembangan teknologi modern memunculkan refleksi-refleksi filosofis yang relevan untuk dipertimbangkan. Pasalnya, ketika diterapkan ke tengah masyarakat, teknologi tidak hanya membawa manfaat, tetapi memiliki risiko dan dampak yang mesti antisipasi.
Seiring dengan pesatnya inovasi dan transfer teknologi terbaru yang dipicu oleh kepentingan modal, dimensi etis ini perlu menjadi pertimbangan para inovator. Saat akan menggunakan teknologi penyuntingan genetik untuk mengatasi penyakit misalnya, ilmuwan harus berpikir, etiskah?
Di negara-negara Uni Eropa, Amerika dan Tiongkok, inovasi dengan mempertimbangkan dimensi etis disebut Responsible Innovation.
Dalam konsep Responsible Innovation, setiap inovator dalam lingkup universitas, pemerintah dan industri memiliki tanggung jawab atas setiap inovasi yang dibuatnya untuk mereduksi persoalan global.
Sesuai kesimpulan konferensi "The Society for Philosophy and Technology" ke 19 yang saya ikuti di Northeastern University, Shenyang, China, dalam Responsible Innovation setiap penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya memiliki suatu prosedur inovasi bertanggung jawab. Proses ini menjadi jaminan untuk mengantisipasi dampak-dampak sosial yang tidak diinginkan.
Metode-metode filosofis yang dikembangkan dalam wacana ini di antaranya etika desain melalui teori mediasi atau etika pascafenomenologis diajukan oleh Peter-Paul Verbeek. Lainnya, pendekatan ekologis mengacu pada alam sebagai inspirasi inovasi atau biomimikri dielaborasi secara teoritis oleh Vincent Block dan Bart Gremmen (2016).
Selain metode-metode filosofis, kita ketahui suatu rumusan bahwa kita sekarang telah memasuki era Anthropocene (Bernard Stiegler), yaitu suatu kondisi dimana Bumi bergerak menuju situasi kerusakan. Perubahan iklim, berkurangnya bahan bakar fosil, dan limbah industri dan nuklir merupakan kondisi-kondisi Anthropocene. Manusia dengan teknosistem kapitalistiknya dikatakan menjadi penyebab kondisi ini.
Lantas, seperti apa inovasi bertanggung jawab dalam konteks Indonesia?
Di Indonesia, inovasi bertanggung jawab didukung oleh Undang-undang Nomor 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Dalam pasal 22 undang-undang tersebut dituliskan, dalam penerapan ilmu dan teknologi, pemerintah menjamin secara hukum kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup.
Selain itu, disebutkan bahwa penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi yang beresiko dikontrol perizinannya oleh pemerintah. BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) merupakan lembaga negara yang menjadi wadah kajian penerapan inovasi di Indonesia. Lembaga ini memiliki fungsi mengatur kebijakan, pemantauan dan pengembangan kelembagaan dengan mengacu pada perundang-undangan yang berlaku.
Nilai-nilai etis dalam berinovasi dapat merujuk pada kearifan lokal. Kearifan lokal di Indonesia, dalam bentuk aturan-aturan atau teknik-teknik memanfaatkan alam, selalu memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.
Kita bisa lihat contohnya peran hukum adat dalam pemanfaatan sumber daya kelautan. Adat laut di Aceh, misalnya, melarang merusak ekosistem pantai dan penggunaan teknologi yang merusak untuk menangkap ikan, seperti menggunakan listrik, racun, dan bahan peledak.
Di Maluku, ada hukum adat bernama sasi laut. Sasi laut merupakan aturan-aturan dalam menangkap ikan-ikan di laut, jenis-jenis ikan tertentu yang dilindungi, misalnya, tidak boleh ditangkap. Selain itu, hukum ini melarang penggunaan jaring dengan lubang-lubang kecil serta teknologi yang merusak.
Demikian pula di NTT, yaitu di Lamalera, perburuan ikan paus merupakan budaya yang harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku, seperti pembatasan jumlah ikan yang diburu dan jenis ikan paus tertentu. Ini tentu berbeda dengan perburuan ikan paus dilakukan oleh orang-orang Jepang untuk konsumsi industri yang kini menuai protes. Budaya-budaya di Indonesia dapat menjadi faktor pendukung dalam menerapkan etika lingkungan.
Selain kearifan lokal, saya pikir relevan menilai inovasi melalui pendekatan humanisme. Para inovator, terutama pembuat kebijakan, perlu menyesuaikan inovasi yang akan diterapkan dengan mengacu pada nilai-nilai kemanusiaan.
Transportasi publik, seperti misalnya pembangunan MRT di Jakarta, tentunya mesti didesain dalam batas-batas kenyamanan penggunanya.
Hal itu meliputi lingkungan sekitar infrastruktur MRT. Mengenai hal ini, kita bisa mengacu etika desain melalui teori mediasinya Verbeek (2005). Etika ini menjelaskan bagaimana perilaku manusia dalam banyak hal terkondisikan (termediasikan) oleh teknologi.
Melalui teori mediasi, pembahasan tentang etika tidak terbatas pada manusia tetapi juga termasuk teknologi yang digunakannya. Inovasi seharusnya ditelaah melalui analisa etika desain.
Inovasi tentunya juga memerlukan refleksi dengan mengacu nilai-nilai yang tidak bias gender.
Teknologi bias gender dibahas oleh Judi Wajcman, sosiolog cum feminis, dalam bukunya Feminism Confronts Technology (1991). Menurutnya, perkembangan teknologi modern tidak mempertimbangkan pengalaman perempuan. Dalam dunia perindustrian, misalnya, mesin dibuat seturut dengan teknik-teknik yang bersifat maskulin, sehingga perempuan tidak memiliki kesempatan untuk bekerja.
Teknologi lainnya yang bias gender, menurut Wajcman, instrumentasi medis reproduksi yang memosisikan perempuan seperti objek-objek dalam penelitian keilmuan. Kemudian teknologi rumah tangga (household technology) yang alih-alih membebaskan pekerjaan, malah mengategorikan dan memosisikan perempuan sebagai pekerja rumah tangga.
Berdasarkan kritik Wajcman tersebut, maka dalam proses desain diperlukan pertimbangan tidak hanya dari perspektif moral tetapi juga feminisme.
Teknologi yang semakin canggih memang menjadi tantangan tersendiri. Munculnya transhumanisme merupakan respon terhadap ilmu dan teknologi yang melampaui nilai-nilai kemanusiaan.
Transhumanis bersikap optimistis mediasi teknologis dapat mengatasi keterasingan hidup manusia. Wacana etis yang baru-baru ini muncul life extension dengan metode cryonics. Dengan cryonics, tubuh manusia yang masih hidup dibekukan di temperatur dingin di bawah 196 derajat celsius untuk menunda kematian.
Di Amerika, seperti laporan Hannah Devlin di situs The Guardian (18/11/2016), terdapat sekitar 350 orang membeku melalui cryonics. Dengan menunda kematian, mereka berharap ditemukan metode pengobatan yang dapat menyembuhkan penyakit yang menyebabkan kematian.
Namun demikian, cryonics belum bisa menjamin apakah dapat menghidupkan kembali secara normal manusia yang dibekukan, pasalnya pembekuan dapat merusak lapisan sel-sel halus dalam otak.
Melalui perspektif humanisme, teknologi yang memiliki dampak-dampak yang tak terpikirkan sebelumnya bukan hanya menjadi tanggung jawab para inovator, baik itu secara individu atau pun organisasional, tetapi juga tanggung jawab bersama.
Kesadaran (awareness) akan non-neutralitas teknologi, yaitu dalam kapasitasnya mengatasi dan menghasilkan berbagai persoalan, menjadi strategi menghadapi masa depan. Humanisme dalam inovasi bertanggung jawab saya kira dapat menjadi solusi persoalan yang bersifat global, bahwa teknologi pada dasarnya dibuat untuk kepentingan hidup manusia.
*Peneliti di The Society of Philosophy and Technology
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.