Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tragedi Asap Bisa Berulang

Kompas.com - 03/02/2017, 15:10 WIB

KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo diminta turun tangan untuk mengevaluasi dan mengurai kendala restorasi gambut. Jika kondisi itu berlarut-larut, semangat menyudahi bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan tak akan membuahkan hasil.

Para pengambil kebijakan pun didorong menempatkan substansi pemulihan gambut dan tak berkutat pada urusan birokrasi. "Mengingat besarnya urgensi penanganan gambut dan ancaman kebakaran yang mengintai tahun ini, sikap itu patut dipertanyakan," kata Syahrul Fitra, peneliti hukum Yayasan Auriga, Kamis (2/2/2016), di Jakarta.

Auriga bersama Eyes on the Forest yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan menyayangkan kemajuan restorasi gambut yang terhambat urusan birokrasi. Surat penugasan restorasi dari Badan Restorasi Gambut (BRG) kepada pemegang konsesi kehutanan dianulir Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Alasan KLHK, pengelola izin kehutanan bekerja berdasarkan rencana kerja usaha (RKU) yang disahkan KLHK. Selain itu, revisi RKU menunggu penyusunan peta fungsi ekosistem gambut.

Syahrul memaklumi, BRG sebagai lembaga baru memiliki kekurangan. Namun, agenda restorasi gambut adalah janji Presiden untuk menyudahi tragedi asap tahunan. "Apalagi, pekerjaan BRG adalah imbas dari ketelanjuran pemerintah, khususnya KLHK, yang memberi izin hutan tanaman industri di area gambut. Lemahnya peran pengawasan pada pemegang izin pun turut jadi faktor," ujarnya.

Menurut Muhammad Teguh Surya, aktivis Yayasan Madani, revisi RKU diminta KLHK sejak 2015. Surat Edaran Menteri LHK Nomor 494 Tahun 2015 meminta pemegang izin kehutanan dan perkebunan di area gambut menata ulang RKU dan rencana kerja tahunan. "Surat itu belum direvisi KLHK," ucapnya.

Harapannya, kegaduhan nonsubstansial saat ini bisa diselesaikan Presiden. "Jangan sia-siakan momentum waktu yang terus berjalan ini untuk kendala nonsubstansial. Restorasi gambut ini janji Presiden," katanya.

Restorasi gambut dijanjikan Presiden Joko Widodo saat menghadiri Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-21 di Paris. Upaya itu bisa menekan emisi kebakaran hutan dan lahan yang mendominasi emisi karbon Indonesia.

Area terbakar

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar membantah bahwa restorasi gambut terhambat regulasi KLHK. Pada 2016, penanganan gambut menurunkan area gambut terbakar sampai 90 persen. Hal paling nyata, hasil pembuatan sekat kanal dan sumur bor lebih dari 16.000 unit. "Itu hasil kerja semua pihak atas perintah Presiden, ditindaklanjuti KLHK, TNI/Polri, pemerintah daerah, dan warga, didukung UNDP (Program Pembangunan PBB)," ujarnya.

Siti menegaskan, BRG jadi kepanjangan tangan KLHK karena fungsi utama pemulihan lingkungan ada di KLHK. "Jadi, pemulihan gambut berjalan, tapi dengan peristiwa 2015, harus dipercepat. Dengan penegasan Presiden, BRG diharapkan mempercepat," ucapnya.

Bekerja sama

Oleh karena itu, BRG tak bisa bekerja sendiri tanpa melibatkan KLHK serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. BRG tak boleh bekerja melebihi amanat undang-undang, terutama area hutan. "Tahun 2016, BRG belum banyak aksi di lapangan dan kegiatan terbatas karena BRG menyiapkan rencana kerja," ujarnya.

"Kami berharap RKU cepat selesai. Kami akan berkoordinasi dengan KLHK, apa ada langkah yang bisa diambil selagi RKU direvisi," kata Kepala BRG Nazir Foead di Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Menurut peta indikatif BRG, ada 1,4 juta hektar area restorasi di wilayah konsesi dan 600.000 hektar di area warga atau pemakaian lain. Dari 25 surat penugasan ke korporasi, lebih dari 200.000 hektar direstorasi. Pada 2016, BRG bertugas merestorasi 600.000 hektar di empat kabupaten prioritas, tetapi tak tercapai. Tahun ini, luas lahan yang direstorasi BRG bertambah 400.000 hektar. (ICH/IDO/SON)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com