JAKARTA, KOMPAS — Stok obat bagi anak yang terkena kanker, khususnya leukemia, di dalam negeri kerap kosong. Itu bisa menyebabkan pasien kambuh dan terapi diulang dari awal. Pasien yang mampu terpaksa membeli obat itu di luar negeri dan pasien miskin difasilitasi jejaring kelompok dukungan pasien.
Ahli onkologi anak dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, Edi Setiawan Tehuteru, dihubungi dari Jakarta, Rabu (1/2), menyatakan, obat leukemia yang kerap kosong ialah mercaptopurine (6MP) dan methotrexate (MTX). Dua obat oral atau diminum itu jadi bagian penting protokol perawatan pasien leukemia. "Kini, 6MP sejak Desember 2016 kosong," ujarnya.
Stok obat yang kerap kosong itu bisa berakibat kekambuhan kanker pada pasien sehingga tahapan terapi dimulai dari awal. Pengulangan proses terapi menemui jalan buntu jika dua obat itu belum tersedia di Indonesia.
Jika pasien tergolong mampu, ia dianjurkan membeli di luar negeri, seperti Singapura. Alternatif lain adalah memanfaatkan jejaring pasien kanker untuk membeli obat itu di luar negeri.
Ketua Yayasan Anyo Indonesia Pinta Manullang-Panggabean menyatakan, pihaknya bersama jejaring kelompok dukungan pasien kanker lain memfasilitasi pasien leukemia yang tak mampu untuk mendapat 6MP dan MTX. Pemerintah seharusnya menjamin ketersediaan obat itu.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, secara global kasus kanker terus bertambah. Pada 2008 ada 12 juta kasus baru kanker di dunia dengan kematian 7,6 juta kasus.
Tahun 2012, angkanya bertambah jadi 14 juta kasus baru kanker dengan 8,2 juta kematian akibat kanker. Pada 2030, WHO memprediksi, kasus baru kanker sebanyak 26 juta kasus dengan angka kematian 17 juta kasus.
Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi kanker 1,4 per 1.000 warga atau 347.000 orang. Kanker terbanyak pada perempuan ialah kanker payudara dan kanker serviks. Pada pria, kanker terbanyak adalah kanker paru dan kolorektal.
Konsultan hematologi onkologi anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Prof Djajadiman Gatot, menyebutkan, kasus kanker anak 3-4 persen dari jumlah total kasus kanker. Dua pertiga kasus kanker anak adalah leukemia, disusul retinoblastoma.
Fasilitas terbatas
Selain itu, penanganan kanker anak terkendala keterbatasan fasilitas kesehatan. Untuk menjalani kemoterapi, pasien menanti hingga beberapa bulan. Padahal, penanganan kanker berpacu dengan waktu.
Menurut Wakil Ketua Komite Penanggulangan Kanker Nasional Sonar Soni Panigoro, sosialisasi dan edukasi kanker dan cara penanganannya perlu dilakukan secara luas. Sebab, pasien kerap memilih pengobatan alternatif sebelum memutuskan berobat ke dokter karena stadium kankernya meningkat.
Di layanan kesehatan, panduan terapi kanker belum tentu bisa dipraktikkan dokter dan rumah sakit karena sarana terbatas. "Pada penanganan kanker, ada beberapa jenis keterlambatan. Terlambat karena pasien pilih pengobatan alternatif sebelum medis, terlambat lantaran dokter dan RS terhambat sarana, dan pemahaman kanker kurang," ujarnya.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Mohamad Subuh menegaskan, deteksi dini kanker amat penting dalam penanggulangan kanker. Program deteksi dini kanker yang diterapkan luas ialah deteksi dini kanker payudara dan kanker serviks atau leher rahim. (ADH)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Februari 2017, di halaman 14 dengan judul "Stok Obat Leukemia Sering Kosong".