Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Jangan Membunuh Pihak yang Tak Bersalah

Kompas.com - 01/02/2017, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Tulisan ini tak ada hubungannya dengan aksi lapor melapor yang belakangan gaduh terjadi. Tapi perkara ada pihak teraniaya bahkan jadi sasaran penistaan akibat informasi yang hanya setengah-setengah dicerna, bisa jadi.

Dunia kesehatan tak luput. Cara berpikir radikal tentang asupan pangan yang dianut sejak jaman penjajahan pun alih-alih menyehatkan rakyat, malah semakin terlihat seperti dimanfaatkan pihak yang mencari untung.

Sebutlah pihak yang sering ternista adalah sayur. Mulai dari disebut penyebab asam urat hingga wujud lalapannya diharamkan bagi yang ingin hamil atau sedang hamil.

Sayur segar dicurigai penuh pestisida, sementara hantaran kukis, bolu legit diterima dengan hangat tanpa curiga sebagai hantaran oleh-oleh atau perayaan hari besar.

Faktanya, dari daftar 10 bahan pangan tinggi purin sebagai biang keladi asam urat tidak ada satu pun sayur hijau disebut. Bahkan, havermut yang gencar dijadikan promosi makanan asing itu mengandung purin amat jauh lebih tinggi (94mg/1 ons havermut) ketimbang selada hijau (13mg/ 1 ons selada).

Selama berabad-abad bayam yang dilarang para dokter itu pun hanya mengandung 57mg purin/1 ons bayam, dibanding ikan tuna (257 mg purin/1 ons tuna).

Yang lebih miris lagi, tidak banyak dokter paham bahwa kandungan purin akan jauh melorot drastis pada sayur hijau, karena proses pemasakan. Jadi siapa bilang makan daun singkong rebus meningkatkan asam urat?

Barangkali yang perlu diwaspadai justru latar belakang hipertensi, diabetes dan kegemukan para penderitanya yang secara otomatis meningkatkan asam urat darah karena ginjal sudah bermasalah!

Larangan mengonsumsi sayur lalap pun santer terdengar di praktek dokter kandungan sudah sejak lama. Jika alasannya hanya karena risiko infeksi toksoplasma, maka larangan itu terdengar amat usang dan menggelikan.

Sayur lalap, mentah atau salads terkontaminasi toksoplasma karena masalah kebersihan. Higiene. Lalu, mengapa bukan isu kebersihan yang digarap melainkan sayurnya yang diharamkan?

Padahal, ibu-ibu hamil yang terkena toksoplasmosis banyak yang tidak suka sayur, tapi mereka mendapatkannya akibat jajan mi bakso dengan sambal, rujak, nasi uduk warungan, bahkan lauk siap saji yang dibeli sepulang kantor karena alasan praktis.

Menghina sekali jika diandaikan ibu-ibu hamil tidak mempan diajari soal kebersihan. Atau dokternya yang gagal paham dan malas mengedukasi?

Faktanya, menambahkan banyak sayur segar dengan berbagai jenis antioksidan penuh yang belum terkikis akibat pemasakan, ternyata lebih banyak manfaat daripada mudharatnya.

Bukan hanya menambah energi, tapi kecukupan vitamin dan mineral dalam bentuk aslinya akan sangat berguna bagi tubuh ketimbang ibu dicekoki bermacam-macam pil yang tidak pernah ada di alam.

 

Salah satu blunder yang tak kalah terkenalnya tentu juga urusan kolesterol. Lebih ramai lagi kekacauannya, karena perdagangan obat hingga jamu penurun kolesterol dengan iklan bombastis kian menggila tanpa kontrol.

Semuanya menistakan makanan. Padahal, begitu banyak penelitian terakhir membuktikan bahwa 80% kolesterol manusia dibuat oleh tubuhnya sendiri. Bukan dari makanan.

Hal ini amat cocok, sebab sebagian besar pasien dengan kolesterol tinggi bersumpah tidak pernah menyentuh makanan-makanan yang ‘dihujat’ seperti jerohan, seafood, hingga gorengan. Tapi angka kolesterolnya tetap bertengger di batas atas, akibat stres berkepanjangan dan otak membutuhkan kolesterol agar tetap waras – sehingga tubuh pun aktif membuatnya.

Yang tak kalah menakutkannya, di sisi ekstrim lainnya, belakangan ini beredar hoax akibat pemenggalan semena-mena jurnal kedokteran.

Seakan-akan kolesterol tidak perlu dirisaukan, yang katanya selama ini terjadi salah kaprah risiko penyakit jantung dan pembuluh darah akibat kolesterol. Lebih celaka lagi, informasi itu menjadi viral di medsos dan ditanggapi gembira oleh para pecinta ‘makanan ngawur’.

Faktanya, peningkatan kolesterol dengan berat jenis rendah (LDL - yang sering dituduh sebagai ‘kolesterol jahat’) memang tidak secara langsung berhubungan dengan pembentukan plak pada dinding pembuluh darah, yang mengakibatkan penyumbatan dengan risiko serangan jantung atau stroke.

Tapi lonjakan kolesterol itu tetap perlu diwaspadai, karena pola makan orang Indonesia yang cenderung mendongkrak insulin akibat kenaikan gula darah menyebabkan reaksi oksidasi terhadap LDL.

Nah, LDL teroksidasi inilah yang membuat peradangan tersembunyi (silent inflamation) berujung pada pembentukan plak di kemudian hari.

Dengan menyadari beberapa contoh di atas, barangkali membuat kita perlu sedikit lebih bijaksana dalam banyak hal. Salah satunya, jangan keburu menuding tersangka, sebagai penyebab segala sesuatunya dan menjatuhkan hukuman yang tidak tepat sasaran.

Tubuh amat membutuhkan nutrisi yang sehat seimbang. Termasuk sayur hijau. Begitu pula tidak semua lemak itu jahat. Tergantung cara olahnya dan dengan apa lemak diasup.

Roti beroles margarin tentu tidak sama dengan karedok dimakan bersama pepes ikan kembung. Walaupun roti dan karedok keduanya merupakan karbohidrat, tapi kita tahu persis mana yang lebih sehat dan mana yang tidak.

Begitu pula sama-sama menghasilkan lemak, ikan kembung yang kaya asam lemak tidak jenuh mempunyai kasta jauh lebih tinggi ketimbang olesan margarin.

Butuh waktu panjang untuk meningkatkan pengetahuan memang, tapi butuh waktu yang lebih panjang lagi untuk membereskan semua akibat pembodohan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com