KOMPAS.com — Salah satu hoax dan kontroversi paling panas selama tahun 2016 adalah bumi datar. Teori yang lama berkembang dan mengalami jatuh bangun selama ratusan tahun itu kini bangkit kembali.
Penganut "paham" bumi datar ini cukup banyak. Di Indonesia, ada grup Facebook Indonesian Flat Earth Society yang mempunyai anggota 19.659 orang.
Demikian juga di negara dengan sains maju. Komunitas penganut bumi datar tetap berkembang. Di Inggris, ada pula grup The Flat Earth Society yang anggotanya mencapai 47.777 orang.
Pada 30 Desember 2016 lalu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menggelar diskusi bersama penganut bumi datar. Potongan diskusi bisa dilihat dalam video berikut.
Dalam diskusi dan juga tulisan di blog-nya, Kepala Lapan, Thomas Djamaluddin, memberi jawaban yang bagi banyak orang sudah tak perlu ditanyakan lagi.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sekilas menggelikan, tetapi tak mudah pula menjawabnya dengan ringkas dan mudah dipahami. Malah, kadang tak terpikirkan jawabannya.
Terkait kubah langit
Ada sejumlah pertanyaan terkait dengan keberadaan kubah langit, salah satunya, "Bukankah roket dan pesawat ulang alik terbang dalam bentuk kurva juga, tidak tegak lurus ke atas karena akan meledak ketika menabrak dome (kubah langit)?"
Thomas menjawab, "Pengamat melihatnya terbang melengkung karena efek gravitasi bumi sehingga lintasannya berbentuk parabola."
Hal yang sama juga akan terjadi jika kita melempar batu. Batu akan bergerak vertikal dengan lintasan parabola sebelum akhirnya jatuh karena gravitasi.
"Kalau dilempar dengan kekuatan yang besar (dengan roket atau pesawat ulang alik), lintasan parabolanya mencapai ketinggian sampai sekitar 400 – 600 km," imbuh Thomas.
Pertanyaan lain adalah "Bukankah batas langit berupa dome (kubah) sehingga pelangi berbentuk kurva dan tidak pernah ada yang dapat menembusnya?"
Thomas menjelaskan, kelengkungan pelangi bukan disebabkan oleh kubah langit. "Pelangi tampak melengkung setengah lingkaran juga karena batas pandang mata pengamatnya," ungkapnya.
Pelangi disebabkan oleh pembiasan cahaya matahari oleh kristal es. Ada sudut dalam kristal es yang menyebabkan pembiasan cahaya sehingga warna yang dihasilkan seolah melingkari titik hubung matahari dan pengamat.
Ada pula yang menanyakan nasib satelit setelah diluncurkan, apakah tidak pernah menabrak kubah langit? Thomas menjawab, "Satelit diluncurkan sampai ketinggian lebih dari 400 km, misalnya satelit Lapan A2 diorbitkan pada ketinggian 650 km. Tidak ada kubah langit."