Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah Langit Benar-benar Berkubah? Jawaban bagi Penganut Bumi Datar

Kompas.com - 04/01/2017, 18:56 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com — Salah satu hoax dan kontroversi paling panas selama tahun 2016 adalah bumi datar. Teori yang lama berkembang dan mengalami jatuh bangun selama ratusan tahun itu kini bangkit kembali.

Penganut "paham" bumi datar ini cukup banyak. Di Indonesia, ada grup Facebook Indonesian Flat Earth Society yang mempunyai anggota 19.659 orang.

Demikian juga di negara dengan sains maju. Komunitas penganut bumi datar tetap berkembang. Di Inggris, ada pula grup The Flat Earth Society yang anggotanya mencapai 47.777 orang.

Pada 30 Desember 2016 lalu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menggelar diskusi bersama penganut bumi datar. Potongan diskusi bisa dilihat dalam video berikut.

Dalam diskusi dan juga tulisan di blog-nya, Kepala Lapan, Thomas Djamaluddin, memberi jawaban yang bagi banyak orang sudah tak perlu ditanyakan lagi.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sekilas menggelikan, tetapi tak mudah pula menjawabnya dengan ringkas dan mudah dipahami. Malah, kadang tak terpikirkan jawabannya.

Terkait kubah langit

Ada sejumlah pertanyaan terkait dengan keberadaan kubah langit, salah satunya, "Bukankah roket dan pesawat ulang alik terbang dalam bentuk kurva juga, tidak tegak lurus ke atas karena akan meledak ketika menabrak dome (kubah langit)?"

Thomas menjawab, "Pengamat melihatnya terbang melengkung karena efek gravitasi bumi sehingga lintasannya berbentuk parabola."

Hal yang sama juga akan terjadi jika kita melempar batu. Batu akan bergerak vertikal dengan lintasan parabola sebelum akhirnya jatuh karena gravitasi.

"Kalau dilempar dengan kekuatan yang besar (dengan roket atau pesawat ulang alik), lintasan parabolanya mencapai ketinggian sampai sekitar 400 – 600 km," imbuh Thomas.

Pertanyaan lain adalah "Bukankah batas langit berupa dome (kubah) sehingga pelangi berbentuk kurva dan tidak pernah ada yang dapat menembusnya?"

Thomas menjelaskan, kelengkungan pelangi bukan disebabkan oleh kubah langit. "Pelangi tampak melengkung setengah lingkaran juga karena batas pandang mata pengamatnya," ungkapnya.

Pelangi disebabkan oleh pembiasan cahaya matahari oleh kristal es. Ada sudut dalam kristal es yang menyebabkan pembiasan cahaya sehingga warna yang dihasilkan seolah melingkari titik hubung matahari dan pengamat.

Ada pula yang menanyakan nasib satelit setelah diluncurkan, apakah tidak pernah menabrak kubah langit? Thomas menjawab, "Satelit diluncurkan sampai ketinggian lebih dari 400 km, misalnya satelit Lapan A2 diorbitkan pada ketinggian 650 km. Tidak ada kubah langit."

Matahari berjarak dekat

Penganut bumi datar meyakini bahwa matahari berjarak dekat. Salah satu tandanya, sinar matahari terlihat lebih terang di awan di sekitarnya dibandingkan awan yang jauh.

Thomas menjawab, sinar matahari yang lebih terang bukan disebabkan oleh matahari. "Tetapi, pada awan sebagai sumber cahaya pantulan. Karena awannya dekat, maka cahaya pantulannya terlihat lebih terang daripada awan yang jauh," kata Thomas.

Penganut bumi datar juga meyakini bahwa cahaya matahari yang tampak bersudut setelah melewati awan adalah tanda matahari berjarak dekat.

Thomas menegaskan, "Itu bukan bukti matahari yang dekat."

"Bentuk menyudut yang terpusat pada matahari menunjukkan bahwa berkas cahaya matahari itu lurus dan sejajar karena mataharinya sangat jauh (150 juta km). Berkas cahaya yang luruh yang menembus celah-celah awan tampak menyudut karena pandangan perspektif, sama halnya ketika kita melihat rel kereta api tampak makin menyempit di kejauhan," imbuhnya.

Sejumlah pertanyaan lain adalah tentang gerhana yang dianggap sebagai hoax.

"Jika matahari di belakang bumi dikatakan gerhana bulan, lalu dari mana asal sinar bulan? Jika bulan menutupi matahari ketika gerhana matahari, lalu dari mana asal cahaya bulan?" demikian pertanyaan para penganut bumi datar.

Thomas menjawab bahwa gerhana bulan dan matahari adalah akibat konfigurasi bumi, bulan, dan matahari. Hal itu bisa disadari dengan melihat lagi fase-fase bulan dan pergerakan bumi mengelilingi matahari.

Sejumlah jawaban pertanyaan lain bisa dilihat lengkap dalam blog Thomas Djamaluddin di tautan ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com