KOMPAS.com – Aktor Ben Stiller sempat kaget saat divonis terkena kanker prostat. Pasalnya, ia tak punya riwayat keluarga dengan penyakit itu sebelumnya.
"Saya tak punya riwayat kanker prostat di keluarga dan tidak termasuk dalam kelompok berisiko. Saya pun tak punya gejala," kata Stiller dalam esai yang terpublikasi online dan diulas kembali oleh CNN, Rabu (5/10/2016).
Cerita itu dibagi Stiller dalam program radio Sirius XM yang dibawakan oleh Howard Stern. Ia mengaku tak akan pernah lupa dengan apa yang terjadi pada 2014, saat dia mendapatkan vonis itu.
Untungnya, sebelum prostat menjajah parah tubuhnya, dokter pribadi Stiller menyarankan ia untuk deteksi dini.
"Di dunia yang tak sempurna ini, saya percaya cara terbaik menentukan cara pengobatan masih dengan deteksi dini," tambahnya.
Pemain film Night at the Museum itu berujar bahwa dokter pribadinya menawarkan tes Protate Specific Antigen (PSA) ketika ia masih berusia 46.
Tes tersebut dilakukan untuk mengukur berapa banyak zat antigen spesifik yang diproduksi prostat. Jika kadarnya terlalu tinggi, itu mungkin gejala kanker prostat.
Sebagian besar pria diperiksa tes ini ketika berusia 50 tahun. Namun, Stiller setuju menjalani tawaran dokter pribadinya tersebut.
Kanker prostat termasuk kanker yang lazim dialami pria di AS, merujuk National Cancer Institute.
Organisasi itu juga mengungkapkan bahwa kanker prostat termasuk penyebab kematian kedua pada pria. Maka dari itu, pria mesti waspada karena biasanya kanker ini tumbuh perlahan dan seringkali tak menampakkan gejala.
"Bila saya menunggu seperti saran American Cancer Society untuk diperiksa pada usia 50 tahun, saya mungkin tak tahu ada kanker tumbuh sampai dua tahun," tulis Stiller.
Di Indonesia
Di tanah air, saran pemeriksaan pada kanker prostat juga biasanya diperuntukkan bagi pria di atas usia 50 tahun.
Padahal, data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada 2013 mendapatkan perkiraan prevalensi kanker prostat di Indonesia adalah sebesar 0,2 persen atau sebanyak 25.012 penderita.
Nah, meski pada dasarnya penyakit tersebut biasanya turun-temurun, tak menutup kemungkinan orang bisa terserang tanpa riwayat keluarga sebelumnya, seperti yang dialami Stiller.
“Memang, risikonya bisa menjadi dua sampai tiga kali lebih besar pada laki-laki yang memiliki riwayat kanker prostat dalam keluarga tingkat pertama, misalnya ayah kandung,” lanjutnya.
Bahkan, kata Diah, risiko bisa naik sampai empat kali lebih besar saat seorang lelaki memiliki dua atau lebih kerabat dengan riwayat kanker prostat.
Karenanya, deteksi dini atau skrining seperti PSA yang dilakukan Stiller menjadi penting, bahkan untuk laki-laki berusia muda sekalipun.
“PSA ini adalah cara untuk memantau penyakit dan atau pengobatan setelah pengangkatan prostat,” ucap Diah.
Jadi, tak perlu menunggu usia 50 tahun untuk memeriksakan diri juga, bukan?