Pendataan Kasus Gigitan Ular Berbisa Terabaikan

Kompas.com - 25/10/2016, 15:17 WIB

KOMPAS.com - Pemerintah dinilai masih mengabaikan pendataan kasus gigitan ular berbisa di Indonesia. Itu menyebabkan angka kasus yang tercatat di lembaga pemerintah amat rendah. Kondisi itu menunjukkan penanganan kasus gigitan ular belum jadi prioritas.

Data Badan Pengawas Obat dan Makanan 1998-2000 mencatat, kasus gigitan ular se-Indonesia 180 kasus atau 90 kasus per tahun. "Itu tak mungkin. Dalam setahun, 2015-2016, ada 148 kasus hanya di IGD (Instalasi Gawat Darurat) Rumah Sakit Umum Daerah Koesna di Bondowoso, Jawa Timur," kata dokter Tri Maharani, yang kini Kepala IGD RS Paru Dungus, Madiun, Jawa Timur, Senin (24/10/2016), di Bogor, Jawa Barat.

Ia mengungkapkan hal itu di sela simposium internasional terkait keragaman spesies vertebrata Asia. Kegiatan itu diprakarsai Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bekerja sama dengan The Japan Society for Promotion of Science dan The Kyoto University Museum, Universitas Kyoto, Jepang.

Dengan memakai angka 150 kasus per kota atau kabupaten, Tri memperkirakan, kasus gigitan ular secara nasional 135.000 kasus. Itu jadi perhatian karena mendekati penyakit-penyakit yang kini jadi prioritas pengurangan. Misalnya, jumlah orang dengan HIV di Indonesia hingga 2015 mencapai 191.073 jiwa.

Tri yang juga dokter ahli gigitan ular itu memaparkan, ia menyebarkan borang ke puskesmas dan rumah sakit untuk menghimpun data kasus gigitan ular agar mendapat angka kasus riil. Namun, itu terhambat karena tidak melalui dinas kesehatan. Jadi, pendataan seharusnya dilakukan Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan.

Anti bisa

Di sisi lain, karena belum jadi prioritas, riset serum anti bisa ular (SABU) di Indonesia tak berkembang. SABU yang ada ialah SABU polivalen (untuk mengobati gigitan lebih dari satu ular) produksi Biofarma, untuk gigitan ular kobra Jawa (Naja sputatrix), welang (Bungarus fasciatus), dan ular tanah (Agkistrodon rhodostoma). Harganya Rp 500.000 per ampul, dan satu pasien biasanya menghabiskan 2 ampul.

Padahal, banyak kasus gigitan selain jenis ular itu. Di Indonesia barat, ular hijau (Trimeresurus albolabris) termasuk penyebab kasus gigitan utama. Jadi, penanganan kasus itu memakai serum monovalen Green Pit Viper Antivenin yang diimpor. Jika diimpor dari Malaysia, harganya sekitar Rp 3,2 juta per ampul.

Di Indonesia timur, khususnya Papua, jenis ular penggigit berbeda jauh karena berkerabat dengan jenis ular di Australia. Bahkan, menurut peneliti herpetologi LIPI, Amir Hamidy, 90 persen dari semua jenis ular di Papua berbisa, tak seperti di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang hanya 5 persennya berbisa.

Menurut Tri, ada 7 jenis ular berbisa di Papua yang biasa menyerang warga, hampir semuanya neurotoksin (menyerang sel saraf). Karena SABU impor dari Australia, harganya Rp 65 juta per ampul, padahal satu korban butuh 3-4 ampul. Untuk itu, perlu riset atau kolaborasi dengan produsen. (JOG)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau