Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sapardi Djoko Damono: Puisi Masa Depan Mungkin Bentuknya Gambar

Kompas.com - 05/10/2016, 21:09 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com — Era digital membuat banyak orang pesimistis. Mereka yang bergerak pada komunikasi berbasis teks di media cetak, misalnya, merasa karyanya tak dihargai sebesar dahulu.

Namun, Sapardi Djoko Damono, penyair legendaris yang dikenal lewat buku Hujan Bulan Juni sama sekali tak galau, malah cenderung optimistis.

Ia mengungkapkan, puisi akan tetap eksis, tak akan mati. Syaratnya, para penyair terbuka pada perkembangan teknologi.

Sapardi mengungkapkan, "Sastra sebenarnya adalah teknologi. Saya mengartikan teknologi sebagai cara manusia melakukan sesuatu."

Karakter teknologi adalah terus mengalami kemajuan dan pembaharuan. Sebagai teknologi, sastra pun sebenarnya punya karakter yang sama.

Dongeng bocah sebagai karya sastra sebelumnya hanya disampaikan secara lisan. Namun, seiring manusia mengenal aksara, dongeng kemudian dituliskan.

Lantas, Romeo dan Juliet dari Shakespeare semula bentuknya buku. Namun, perkembangan zaman membuatnya diubah menjadi film.

Beragam perkembangan, tanpa disadari, menunjukkan bahwa sastra telah berevolusi dari lisan, tulisan, menjadi audio-visual.

"Kalau sekarang beli novel, ada pilihannya kan. Mau buku, e-book, atau audiobook. Jadi, kita bisa mendengarkan sastra, bukan membaca karya sastra. Boleh enggak? Harus boleh," katanya.

Pada era digital, ketika teks yang panjang dianggap menjemukan dan gambar dianggap lebih engaging, puisi pun sebenarnya bisa berubah bentuk.

"Ke depan, puisi itu bisa berbentuk gambar," ungkap Sapardi saat ditemui Kompas.com seusai menerima Habibie Awards pada Rabu (5/10/2016).

Sapardi mengungkapkan, perkembangan era digital perlu dirayakan, bukan diratapi. Dalam konteks sastra, penyair dan pegiat sastra perlu meresponsnya dengan beradaptasi.

"Pemikiran bahwa puisi itu harus teks, karya sastra itu harus teks, itu yang harus diubah," kata Sapardi. "Cara berpikir berani itu yang saya harapkan," katanya.

Lantas, seperti apa puisi masa depan berbentuk gambar dalam bayangan Sapardi? Persisnya, ia belum tahu.

Namun, ia mengatakan, "Mungkin bisa saja kita bermain font sehingga membentuk gambar."

Apakah puisi akan kurang magis dan bermakna bila berbentuk gambar, seperti halnya novel yang kemudian digubah menjadi film?

Sapardi mengatakan, "Siapa bilang akan begitu? Itu kalau orang Jawa bilang, 'Gundulmu apek!' Pale lu bau menyan!" Menurut dia, setiap cara punya kekuatannya sendiri.

Hari ini, Sapardi menerima Habibie Awards dalam bidang kebudayaan. Tiga tokoh lain menerima penghargaan dalam bidang rekayasa, ilmu dasar, dan kedokteran.

Hendra Gunawan, matematikawan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), misalnya, menerima penghargaan dalam bidang ilmu dasar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com