Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Dari Rumah Makan ke Rumah Sakit

Kompas.com - 03/10/2016, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

 

Hilangnya kearifan

Menyaksikan semua fenomena itu, saya pikir ada sesuatu yang ‘hilang’ belakangan ini. Sebut saja kearifan.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata arif memuat artian luhur yang bisa diandaikan wujud ideal manusia paripurna. Bukan sekadar cerdik dan pandai, orang arif memahami sesuatu dengan kebijaksanaan.

Yang pasti, kearifan jauh dari keserakahan apalagi sifat licik memanfaatkan pangsa pasar. Orang yang arif tidak gegabah menempatkan ilmu yang dimiliki untuk mengatasi kodrat.

Sayang amat jika mata kuliah filsafat ilmu pengetahuan (jika masih ada) di semester satu semua jurusan, dianggap hanya sebagai sempalan SKS. Begitu pula pengembangan karakter cuma sekadar keterampilan ‘ngecap’ untuk bisa lulus.

Teori tinggal teori, begitu pula saya menyayangkan para pasien yang jatuh dalam kondisi penyakit kronik akibat gaya hidup sebagai pelanggan setia rumah sakit, lupa teori hidup sehat saat di rumah makan.

Pengetahuan tanpa kearifan membuat manusia membayar mahal, salah satunya pada masalah kesehatan. Tubuh adalah fenomena alam yang tak mungkin dimanipulasi. Tubuh selalu jujur memberi umpan balik saat empunya badan berlaku zolim pada dirinya. Saat hukum kodrat terinjak.

Kearifan juga kerap membawa kita kembali pada pemikiran tradisional, yang secara keilmuan bila digali akan memancarkan kebjiaksanaan.

Seperti seorang ibu tidak membelikan es krim bagi anaknya yang batuk pilek. Atau melarang makan permen dan coklat untuk anak dengan gigi berlubang. Terlepas dari suhu dinginnya es krim atau lengketnya permen - bukan suatu kebetulan bahwa jajanan itu semuanya memang bergula tinggi.

Saat negara-negara maju bergegas memberlakukan pajak tinggi untuk makanan kemasan tinggi gula, bahkan India sudah meregulasi pangan anak sekolahan, anak-anak kita di sini masih dibombardir pangan tak terkontrol.

Anak-anak muda riuh mengejar kedai jajanan asing di mal-mal mewah, merasa ‘keren’ sekaligus berfoto dengan apa yang mereka sebut sebagai ‘makanan dan minuman’ – yang seratus tahun lalu saja tidak eksis. Dan seratus tahun lalu, diabetes maupun penyakit jantung koroner akibat gaya hidup pun tidak eksis di anak muda pertengahan tiga puluh tahun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com