Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Cahyo Rahmadi
Peneliti

Peneliti di Pusat Penelitian Biologi LIPI yang menekuni taksonomi kalacemeti (Amblypygi) dan biologi gua. Sarjana biologi diperoleh dari Fakultas Biologi UGM, dan meraih gelar doktor dari Faculty of Science and Engineering Ibaraki University. Aktif di kegiatan penelusuran gua dan saat ini menjadi Presiden Indonesian Speleological Society (ISS).

Spora Speleologi dari Yogyakarta

Kompas.com - 28/09/2016, 10:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Di tengah hujan yang mengguyur Yogyakarta dari tanggal 23-25 September 2016, bertempat di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, lebih dari 200 penelusur gua dari berbagai daerah berkumpul mengikuti Stasiun Nol Festival.

Festival tentang pemetaan gua yang pertama kali digelar di Indonesia ini merupakan ajang para penelusur gua belajar bersama dan berbagi ilmu tentang teknik survai gua.

Acara yang mendapat animo sangat besar ini diselenggarakan oleh Acintyaçunyata Speleological Club (ASC), Indonesian Speleological Society (ISS), Arisan Caving Yogyakarta (ACY), KPALH Setrajana, Palmae, dan Kapalasastra.

Beberapa kegiatan yang diselenggarakan antara lain kontes peta gua, lomba pemetaan gua, pameran foto, seminar, dan workshop tentang aplikasi pemetaan dalam berbagai cabang ilmu seperti biologi, hidrologi, arkeologi dan sekaligus konservasi kawasan karst dan gua.

Kontes peta gua diikuti oleh beberapa negara seperti Selandia Baru, Austria, Meksiko, Slovenia dan tentu saja dari Indonesia yang menampilkan berbagai hasil kegiatan pemetaan gua dari peta dasar hingga peta dengan berbagai tema.

Pada kegiatan seminar menghadirkan pembicara dari Institute of Karst Geology, Erin Lynch, yang memaparkan teknik pemetaan gua dengan teknologi terkini.

Selain itu, narasumber dengan berbagai ilmu seperti pemanfaatan peta untuk arkeologi, biologi, hidrologi dan wisata gua berkelanjutan juga memaparkan ide, gagasan dan insipirasi bagaimana sebuah peta bukan hanya sebagai petunjuk lorong gua tapi juga sangat penting untuk berbagai cabang ilmu dan yang terpenting konservasi karst dan pemanfaatan sebesar-besarnya untuk masyarakat.

Belajar bersama

Dalam festival ini, acara workshop dibagi menjadi dua kelas yaitu "Non-magnetic cave mapping" dipandu oleh Erlangga Esa Laksmana penulis buku Stasiun Nol dan "Cave database construction using kobo application" difasilitasi oleh Freddy Chandra dari ISS.

Workshop ini sebagai ajang belajar bersama mengenai teknik pemetaan gua sekaligus juga tempat diskusi bagaimana ke depan data dan informasi gua dapat dikemas dalam satu data dasar dengan aplikasi berbasis android.

Kesempatan belajar bersama dan bertukar pikiran dan gagasan inilah yang menjadi nilai lebih dari festival ini. Berbagai pendapat banyak memberikan inspirasi bagaimana mengelola peta gua dan segala informasinya dikemas dan menjadi rujukan pengelolaan gua dan karst di Indonesia.

Beberapa masukan dari narasumber seperti yang disampaikan oleh Erin Lynch mengenai tantangan dari kegiatan pemetaan gua adalah pengarsipan data pemetaan yang sampai saat ini belum pernah dilakukan di Indonesia.

Para peserta workshop dari berbagai pulau dan kota juga menjadi ajang menyebarkan pengetahuan teknik pemetaan gua ke daerahnya masing-masing. Para peserta inilah yang akan menjadi spora speleologi yang dapat meningkatkan kapasitas speleologi para penelusur gua di daerah.

Kemasan dan arsip

Selama ini, pemetaan gua hanya menjadi sebuah kegiatan yang hanya memperhatikan hasil bukan proses dari awal sampai akhir ketika peta gua dihasilkan menjadi satu informasi utuh dan penting.

Proses inilah yang terkadang tidak diperhatikan, semua hasil pengukuran lapangan, sketsa dasar dan bahkan penggambaran peta tidak dianggap sebagai hal yang penting.

Erin Lynch menyampaikan pentingnya arsip proses pemetaan yang terkadang sulit untuk dilacak keberadaannya ketika sang penelusur gua pindah, tidak aktif atau bahkan meninggal.

Inilah tantangan ke depan bagaimana penelusur gua Indonesia bisa memikirkan proses pemetaan gua sebagai bagian penting dan semua dokumen diarsipkan baik manual maupun digital.

Keterbukaan peta

Ada beberapa hal yang terkadang menjadi kendala di speleologi Indonesia yakni keterbukaan peta. Beberapa organisasi setelah melakukan eskpedisi, ekplorasi terkadang hanya menyimpan hasil peta guanya.

C. Rahmadi Pendataan di Gua Urang, Grobogan
Beberapa pihak terkadang kesulitan untuk mengakses karena keterbukaan peta masih menjadi hal yang langka.

Ada beberapa alasan untuk menyimpan peta dan tidak diketahui oleh publik, salah satunya ketakutan untuk disalah gunakan seperti dicomot tanpa memberi penghargaan, digunakan untuk kepentingan pemanfaatan gua yang berlebih bahkan mungkin juga ego karena keinginan menjadi satu-satunya dan yang pertama.

Di era digital ini, semua itu menjadi tidak beralasan dan tidak mendatangkan manfaat karena yang terjadi justru pengulangan peta gua yang tidak menambah kekayaan pengetahuan speleologi.

Selain itu, menghamburkan tenaga dan daya upaya yang tidak meningkatkan kebaruan speleologi.

Untuk itu, perlu dibuat komitmen bersama untuk bergotong royong untuk mewujudkan keterbukaan data dan informasi yang dapat digunakan sebagai rujukan semua orang.

Keberadaan program CavesID yang saat ini dikelola ISS, melalui laman http://peta.caves.or.id/ saat ini mencatat sedikitnya 1300 gua di Indonesia. Informasi yang tersedia masih sebatas sebaran mulut gua, mata air dan beberapa fenomena karst penting.

Jika platform ini disepakati bersama, Indonesia sudah tidak perlu membangun dari awal lagi, karena platform, ketersediaan laman dan server sudah tersedia meskipun di beberapa hal memerlukan penyempurnaan.

Saat ini hanya perlu konsensus bersama sehingga data dan informasi gua yang dihasilkan “spora speleologi” dari Yogyakarta ini dapat terwadahi. Tujuannya agar indikator kemajuan dan pengetahuan speleologi Indonesia dapat diukur dan memberi manfaat sebesar-besarnya untuk masyarakat melalui pemanfaatan berkelanjutan dan kepentingan konservasi karst dan gua di Indonesia.

Semoga ke depan, Indonesia semakin kaya dengan karya-karya peta gua yang dihasilkan “spora-spora” yang telah menyebar ke seluruh pelosok Indonesia sehingga kemerataan pengetahuan teknik survai dan perkembangan speleologi di setiap daerah dapat terwujud.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com