KOMPAS.com - Falcon 9, roket yang salah satu bagiannya diduga jatuh di Sumenep pada Senin (26/9/2016), bukan roket biasa. Peluncur tersebut merupakan salah satu yang paling diperhitungkan saat ini dan berhasil mencetak sejumlah rekor. Seperti apa sebenarnya Falcon 9?
Roket itu dikembangkan oleh SpaceX, perusaan teknologi antariksa yang didirikan oleh Elon Musk. Sang pendiri sendiri merupakan seorang visioner yang menaruh perhatian pada pemanasan global dan keberlanjutan energi. Ia juga ada di balik Tesla Motor dan SolarCity.
Sejauh ini, telah ada tiga versi dari Falcon 9. Versi pertama (Falcon 9 v 1.0) dan versi kedua (Falcon 9 v1.1) kini telah pensiun. Versi yang sekarang dipakai adalah Falcon 9 Full Thrust.
Dari situs SpaceX, terungkap bahwa Falcon 9 telah meluncurkan satelit atau muatan sejak tahun 2010. Falcon 9 mencetak sejarah ketika meluncurkan kargo Dragon ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pada tahun 2012. Saat itu, Falcon 9 menjadi satu-satunya roket buatan perusahaan komersial yang mencapai ISS.
Falcon 9 juga istimewa sebagai roket dua tingkat. Tingkat pertamanya akan meluncurkan muatan hingga ketinggian 150 - 300 kilometer, bisa mendarat kembali di bumi, dan digunakan untuk peluncuran berikutnya. Dengan demikian, Falcon 9 bersifat reusable.
Falcon telah berhasil mendarat beberapa kali. Falcon 9 Full Thrust berhasil mendarat pertama kali di landasan pendaratan di Florida pada 21 Desember 2015 usai peluncuran satelit OG-2. SpaceX mengajukan aplikasi ke Federal Aviation Administration (FAA) untuk melakukan percobaan pendaratan dan berhasil mendarat.
Dikutip dari Space Flight Now, pada 8 April 2016, Falcon 9 berhasil mendarat pada kapal tanpa awak. Ujicoba tersebut dilakukan untuk menguji kemampuan mendarat di benda yang mengapung. Pada 6 Mei 2016, Falcon 9 untuk pertama kalinya bisa mendarat dari misi mengirim satelit JCSAT-14 milik Jepang ke orbit geostasioner.
Versi terbaru Falcon 9 punya ukuran tinggi 70 meter dan diameter 3,66 meter. Falcon Full Thrust mampu mengirim muatan seberat 22.800 kilogram ke orbit rendah bumi, dan 8.300 kilometer ke orbit geostasioner. Sementara, bila manusia merancang misi ke Mars, Falcon 9 bisa mendukung pelunciuran muatan seberat hingga 4.020 kilogram.
Versi Full Thrust memiliki daya 30 persen lebih besar. Di samping itu, bahan bakarnya berupa oksigen cair bersuhu minus 207 derajat Celsius dan minyak tanah untuk rocket propellant (RP-1) yang didinginkan hingga suhu minus 7 derajat Celsius. Suhu dingin memungkinan tangki memuat bahan bakar lebih banyak.
Mencetak rekor, Falcon 9 bukan berarti pernah gagal. Saat meluncurkan satelit komunikasi Israel Amos-6 pada 1 September 2016 lalu, Falcon 9 meledak. saat ini, SpaceX masih menyelidiki sebab ledakan tetapi diduga dipicu helium.
Apakah pecahan yang jatuh di Madura berasal dari misi Falcon 9 yang gagal itu? Menurut Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, kepada Kompas.com, Senin (26/9/2016), mengatakan obyek yang jatuh adalah obyek 41730, tingkat kedua Falcon 9 yang membantu peluncuran satelit JCSAT-16 pada 14 agustus 2015 lalu.
Bagaimana bisa jatuh? Lain dengan tingkat pertama, tingkat kedua Falcon 9 dibiarkan tetap melayan di orbit Bumi dan jatuh dengan sendirinya. Saat melayang, ketinggian orbit makin rendah hingga pada akhirnya jatuh ke permukaan bumi.
Falcon Heavy, versi yang tengah dikembangkan SpaceX, nantinya akan menjadi roket paling maju. Roket itu bisa meluncurkan muatan setara dengan Boeing 747 jetliner berikut penumpang, bahan bakar, dan barang-barangnya, dengan harga lebih murah. Falcon 9 menjadi harapan bagi misi antariksa yang lebih efisein.