Siap-Siap, Kebutuhan Energi Meningkat Dua Kali Lipat pada 2050!

Kompas.com - 26/09/2016, 17:05 WIB
Adhis Anggiany Putri S

Penulis

SINGAPURA, KOMPAS.com – Kebutuhan energi dunia semakin meningkat. Perkembangan industri akan semakin mendorong kebutuhan energi sebanyak 50 persen pada 2050 nanti. Padahal, dua juta dari tujuh juta orang di dunia saat ini masih belum punya akses  listrik.

"Banyak wilayah di Afrika, misalnya, tidak mendapat aliran listrik sehingga akses terhadap kebutuhan hidup lain semakin minim. Padahal, listrik sangat vital sebagai penunjang kebutuhan pokok lain seperti sanitasi (terutama air bersih) dan pendidikan," kata CEO and Chairman Schneider Electric, Jean-Pascal Tricoire dalam forum Life is On Innovation Summit 2016 di Ritz Carlton Hotel, Singapura, (26/9/2016).

Menurut Tricoire, energi adalah hak asasi manusia paling mendasar sehingga merupakan tugas bersama untuk memenuhi kebutuhan ini. Karena itu, efisiensi energi dan pengembangan energi terbarukan harus segera dilakukan.

Sayangnya, lanjut Tricoire, banyak tempat, terutama kota besar, justru mengelola energi secara tidak berkelanjutan. Hal itu berdampak buruk bagi lingkungan, terutama menyebabkan pemanasan global. Di Asia, misalnya, polusi menjadi isu paling utama.

"Kita harus berubah. Bukan hanya untuk uang (keuntungan bisnis) atau (keberlangsungan) planet saja, tapi untuk diri kita sendiri," tutur Tricoire.

Tricoire memberikan rumus tentang seberapa besar usaha yang seharusnya dilakukan sekarang agar ketersediaan energi di masa depan tetap terjaga. Rumus ini penting agar pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dapat menyiapkan strategi energi.

"Dalam 40 tahun konsumsi energi akan naik 1,5 kali. Nah, kita harus mengurangi setengahnya dari sekarang. Artinya, kita harus tiga kali lebih efisien menggunakan listrik," ucap Tricoire.

Solusi paling memungkinkan untuk mencapai target tersebut adalah, lanjut dia, dengan memanfaatkan teknologi Internet of Things (IoT) dalam mengelola energi. Tricoire mencontohkan penggunaan IoT di gedung-gedung untuk efisiensi energi.

"Sekitar 80 persen gedung yang ada sekarang tidak efisien dalam konsumsi energi. Mengapa? Karena kita (pengelola gedung) sering kali tidak mengadaptasi kebutuhan energi dengan populasi orang di dalam gedung," kata Tricoire.

Padahal, membangun gedung cerdas yang bisa mengelola energi sendiri menurutnya tidaklah sulit. Di Paris, Perancis, contohnya, mematikan listrik saat tidak dipakai bisa mengurangi pemakaian listrik di gedung sebanyak 30 sampai 70 persen.

"Mematikan lampu, menyesuaikan temperatur, dan gedung yang lebih terotomatisasi dan ada produk (yang terkoneksi listrik) terkoneksi satu sama lain dengan internet. Ini kuncinya," katanya.

Produk-produk IoT yang diproduksi Schneider Electric mengintegrasikan aset dan teknologi internet lewat software yang bisa diintegrasikan dengan gadget seperti smartphone atau tablet. Gedung sudah dipasang sensor sehingga pengelola tahu konsumsi energi di setiap sudut.

"Ini bisa meningkatkan efisiensi karena kita tahu bagian gedung yang kosong. Lalu dimatikan listriknya jadi tidak boros," ujar Tricoire.

Selain untuk kebutuhan bisnis, Schneider Electric pun memiliki program CSR bernama "Access to Energy". Program ini mempunyai misi untuk membantu daerah yang belum tersentuh listrik.

"Kami ingin membuat lebih banyak orang mendapat listrik. Kami punya sponsor untuk menjalankan program ini dalam memasok kebutuhan energi di tempat-tempat yang kekurangan. Jadi, kami berharap nantinya bukan hanya 2 juta, tapi 4 juta orang akan bisa kita pasok listrik," ujar Tricoire.

Schneider Electric adalah perusahaan global yang bergerak di bidang pengelolaan energi dan informasi. Selama 43 tahun, perusahaan tersebut hadir di Indonesia dan bekerja sama dengan berbagai perusahaan dan lembaga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau