KOMPAS.com - Bukan untuk bicara agama, ras, atau kesukuan. Namun mari mengenang kejayaan peradaban Islam dalam ilmu pengetahuan dan bandingkan dengan kondisi saat ini.
Tahun 875 Masehi, Abbas Ibn Firnas menjadi manusia pertama di dunia yang berhasil terbang. Tahun 859, Fatima Muhammad Al-Fihri mendirikan universitas tertua di dunia.
Hingga sekitar tahun 1.100 Masehi, peradaban Islam merajai. Namun sesaat setelahnya hingga satu milenium kemudian, kiprah peradaban sains bergeser ke wilayah lain.
Dua ilmuwan Pakistan, Athar Osama dan Nidhal Guessoum, menulis artikel berjudul "Dark Age of Muslim World" di MIT Technology Review pada 10 Februari 2016.
Tulisan itu memaparkan sejumlah data mengenai pergeseran peradaban sains dulu dan kini.
Peking University di China tahun 2015 sudah satu tingkat di atas Tokyo University yang sebelumnya menjadi universitas terbaik di Asia.
India Institute of Technology dengan keseriusannya dalam riset mampu bertanding dengan universitas-universitas di Eropa dan Amerika. Catatan yang paling baik, dari 400 kampus terbaik dunia, ada 17 universitas di negara Islam yang masuk di dalamnya.
Ada pergeseran epicentrum sains. Dahulu orang-orang Eropa berbondong-bondong belajar ke Universitas Qarawiyyin yang didirikan Fatima di Maroko.
Jumlah sitasi hasil riset peneliti-peneliti dari dunia Islam, termasuk Indonesia, termasuk minim. Dalam kurun waktu 2006-2015, sitasi riset dari peneliti Indonesia rata-rata hanya 6.
Indonesia sendiri punya dana riset yang sangat rendah, kurang dari 0,1 persen. Sudah sedikit, anggaran riset terus dipotong.
Diberitakan Kompas, Selasa (14/6/2016), anggaran Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dipotong menjadi hanya Rp 1,166 triliun pada tahun 2017, turun sekitar 16 miliar.
Osama dan Guessoum menyerukan pentingnya keberpihakan pada investasi pada riset dan pendidikan sains berkualitas agar dunia Islam dapat ikut berperan dalam menjawab tantangan global lewat sains.
Keduanya mengatakan, pendidikan sains yang lebih luas dan menyeluruh sangat penting.