Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tinggalkan Bahasa Keras dan Memerintah dalam Mendidik Anak

Kompas.com - 02/05/2016, 10:01 WIB
Kontributor Ungaran, Syahrul Munir

Penulis

AMBARAWA, KOMPAS.COM - Cara-cara mendidik anak dengan bahasa kekerasan, memerintah dan memaksa harus ditinggalkan. Orangtua dituntut untuk melakukan pendekatan yang ramah agar disiplin pada anak tumbuh karena kesadaran dan bukan karena keterpaksaan.

Hal itu diungkapkan konselor sekaligus Parental Coach, Elliyati Bahri dalam Seminar Pendidikan Keluarga dalam rangka Milad Partai Keadian Sejahtera (PKS) ke-18, di Kabupaten Semarang, Minggu (1/5/2016) siang.

Menurut Elli, anak adalah calon pemimpin masa depan. Karena itu mendidik anak harus menggunakan pendekatan yang ramah otak, dengan bahasa yang lebih persuasif. Misalnya saat orang tua menyuruh anak untuk shalat. Biasanya orangtua menggunakan kalimat perintah, "ayo shalat!".

Cara komunikasi dengan cara berteriak atau memerintah dengan suara melengking, akan membuat anak merasa tergores harga dirinya. Orangtua bisa menggunakan kalimat yang lebih ramah, seperti, "Nak, kamu Shalatnya mau setelah main sepeda atau ngerjain PR?. "Sehingga apapun jawaban sang anak akan setuju," ujar Elli yang juga pakar Neuro Linguistic Programming (NLP) ini.

Contoh lainnya, lanjutnya, saat harus memerintah anak untuk mengerjakan PR. Orangtua bisa melakukannya dengan bahasa yang lebih persuasif seperti ‘"Kalau PR-nya sudah dikerjakan, ibu mau bikinkan minuman coklat atau jus?".

Cara-cara persuasif tersebut, imbuhnya, akan menyibukkan pikiran sadar anak dengan pilihan yang ditawarkan. Sementara sugesti perintahnya agar sang anak mau mengerjakan PR yang menjadi kewajibannya.

Komunikasi adalah kunci dari pendidikan anak. Inilah yang harus didorong agar dilakukan para ibu di Indonesia. Sebab, anak yang mengalami kekerasan secara verbal, seperti sering dibanding- bandingkan, di-bully, serta memberi label, dapat menimbulkan kecenderungan jiwanya akan kerdil.

Pada tahun 2025 mendatang, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Di mana negara akan memliki ledakan penduduk usia produktif yang luar biasa. Pada kondisi ini, diharapkan jangan sampai terjadi karena anak-anak yang gagal dalam pertumbuhan emosionalnya, karena anak merupakan masa depan bangsa.

"Maka orang tua harus sadar, ini merupakan aset bangsa dan tidak akan pernah terulang kembali bagi kita. Tinggal kita sendiri sadar atau tidak untuk memanfaatkan atau hanya sekedar melewatkan momentum ini,"tegasnya.

Elli menambahkan, hanya dengan kelembutan, kasih sayang dan hanya dengan cinta, anak- anak akan menurut dan patuh pada orangtua, karena kesadarannya yang tumbuh dan bukan karena keterpaksaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau