Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/04/2016, 19:00 WIB

Oleh Laraswati Ariadne Anwar

Raehan (31) sibuk melayani pembeli yang datang ke warung di teras rumahnya. Ketika tengah memberi sekantong es campur kepada seorang pembeli, anak laki-laki Raehan yang berusia 11 tahun datang meminta uang jajan.

Ini yang bungsu. Kakaknya sudah berumur 17 tahun," tutur Raehan ketika ditemui di rumahnya di Desa Kekait, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Kamis (21/4).

Ia duduk di atas tikar di teras dan menceritakan pengalaman hidupnya. Menurut Raehan, dirinya menikah pada umur 13 tahun. Laki-laki yang meminangnya berusia 24 tahun ketika pernikahan itu terjadi pada 1998.

Tangan Raehan lalu membolak-balik halaman buku nikahnya yang berwarna kecoklatan. Ia memperlihatkan tahun kelahirannya yang tertera di buku tersebut, 1978. "Sebenarnya, saya lahir tahun 1985, tapi umur saya dinaikkan tujuh tahun supaya bisa punya buku nikah," ujarnya.

Raehan adalah salah satu korban dari maraknya pernikahan dini di NTB. Data Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana NTB tahun 2015 menunjukkan, 34,9 persen perempuan NTB menikah pada usia 10-19 tahun. Setahun sebelumnya, jumlahnya lebih besar lagi, yakni terdapat 51,8 persen perempuan dari kelompok umur tersebut yang menikah.

Pemerintah Provinsi NTB menyadari dampak negatif yang ditimbulkan pernikahan di bawah umur. Karena itu, pada 2014, Gubernur NTB Zainul Majdi mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Nomor 150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan. Dalam surat edaran ini disebutkan bahwa usia menikah minimal adalah 21 tahun bagi laki-laki dan perempuan.

Berkenalan

Raehan berasal dari Desa Kopang di Kabupaten Lombok Tengah. Pada enam hari setelah perayaan Idul Fitri 1998 atau ketika warga Lombok merayakan "Lebaran Ketupat", Raehan dan kakaknya pergi bertamasya ke Pantai Batulayar.

Di pantai tersebut, ia berkenalan dengan Jufri, pemuda petani dari Desa Kekait. Setelah itu, Jufri sering mendatangi rumah Raehan. "Saya tidak peduli. Saya masih anak-anak. Pulang sekolah, saya langsung ganti baju, ambil karet dan kelereng, terus pergi main. Waktu itu, dia (Jufri) duduk di teras rumah. Saya tidak peduli," ujar Raehan.

Raehan pun ditegur oleh ibunya. Menurut ibunya, Jufri sudah jauh-jauh datang dari wilayah lain hanya untuk bertemu dengan Raehan. "Ibu bilang, 'kalau laki-laki sudah melirik kita, tandanya dia sudah menganggap kita dewasa. Jangan ditolak', tetapi waktu itu saya tidak paham maksud ibu," kenang Raehan.

Setelah Jufri sering datang ke rumahnya, Raehan mulai mengobrol dengan Jufri. Pada suatu hari, menurut Raehan, ia bertengkar. Jufri melihat Raehan sedang kesal dan langsung mengajaknya menikah meski gadis itu baru enam bulan duduk di bangku SMP.

"Saya langsung bilang mau karena dalam pikiran saya, saat itu sedang marah terhadap ibu sehingga pokoknya tidak mau di rumah, ingin keluar saja," kata Raehan.

Siang itu juga Jufri memboyong Raehan ke Desa Kekait untuk diinapkan semalam. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari interpretasi terhadap tradisi merariq atau kawin lari. Dalam merariq, perempuan yang sudah "diculik" dan diinapkan semalam di kediaman laki-laki harus dinikahkan dengan laki-laki tersebut.

Ibu Raehan sempat pingsan, tetapi akhirnya pasrah. Dia cuma berharap Raehan tidak disakiti di rumah mertua karena masih kecil dan belum bisa apa-apa.

Enam hari setelah diculik, Raehan dinikahkan dengan Jufri. "Baju pengantin saya kebesaran. Bahkan, hari itu pertama kalinya saya pakai bra dan harus disumpal saputangan supaya muat dengan baju," tutur Raehan yang ketika menikah belum mengalami menstruasi.

Setelah resepsi di Desa Kopang, petangnya Raehan langsung dibawa ke Desa Kekait untuk tinggal dengan Jufri dan orangtuanya. Raehan mulai mengalami kesulitan dalam berumah tangga. Mertuanya sering memarahinya karena tidak becus mengurus rumah dan sering bersifat kekanak-kanakan.

"Saya belum pernah turun ke dapur. Waktu itu, bahkan saya tidak tahu wujud air mendidih," ucap Raehan.

Menurut dia, saat dirinya hamil di usia 14 tahun, bidan desa mencemaskan kondisinya. Tulang selangkangan gadis itu dinilai belum cukup kuat untuk mengalami proses persalinan.

Anak pertamanya akhirnya lahir ketika Raehan tengah beraktivitas di rumah. "Mendadak bayi keluar. Saya cuma dibantu orang-orang di rumah, tidak sempat memanggil bidan atau dukun," ucapnya.

Setelah kelahiran tersebut, air susu Raehan tidak keluar karena payudaranya belum tumbuh sempurna. Alhasil, putra sulungnya tidak pernah mendapat asupan air susu ibu (ASI).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com