Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnubrata
Assistant Managing Editor Kompas.com.

Wartawan, penggemar olahraga, penyuka seni dan kebudayaan, pecinta keluarga

Memaknai Gerhana Matahari, yang Kita Lupakan dari Bintang Kita

Kompas.com - 08/03/2016, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Pemerintah berdalih, melihat gerhana matahari dengan menggunakan alat bantu sekalipun rawan menyebabkan kebutaan.

Presiden Soeharto menginstruksikan Menteri Penerangan Harmoko untuk terus-menerus memberikan penjelasan kepada masyarakat soal bahaya kebutaan saat gerhana matahari total terjadi.

(Baca: Gerhana Matahari Total dan Paranoia Penguasa Orba)

Harian Kompas edisi Rabu (2/3/2016) juga menuliskan, Presiden kedua RI Soeharto menggunakan gerhana matahari total (GMT) 11 Juni 1983 yang berpuncak di Laut Jawa di utara Pulau Madura selama 5 menit 11 detik untuk menguji tuah kekuasaannya.

Presiden yang berkuasa selama 32 tahun ini ingin melihat apakah perintahnya sebagai pemimpin dipatuhi atau tidak oleh bawahan dan rakyatnya.

(Baca: Soeharto Gunakan Gerhana Matahari untuk Menguji Kekuasaannya)

Ujian atas kekuasaan itu dikemukakan astronom sekaligus filsuf pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Karlina Supeli. Saat perintah Soeharto itu disampaikan tahun 1983, Karlina bertugas di Planetarium dan Observatorium Jakarta.

"Pelarangan waktu itu menjadi alat bagi Presiden Soeharto untuk menguji kepatuhan rakyat di Jawa terhadap perintah. Terbukti, rakyat memang tunduk dan patuh," ujar Karlina.

Kontras dengan peristiwa itu, kini menghadapi gerhana tanggal 9 Maret 2016, Karlina dan para ilmuwan lain mengajak masyarakat agar tidak perlu merasa takut berlebihan menghadapinya. Sebaliknya, justru gerhana harus dirayakan sebagai fenomena langka yang bisa kita saksikan.

“Kegelapan yang menyertai tertutupnya matahari oleh piringan bulan itu justru dimaknai sebagai kegembiraan, bukan ketakutan,” demikian ujar Karlina.

Gerhana kali ini membuat berbagai daerah yang dilaluinya kebanjiran penonton. Pemerintah dan masyarakat di daerah-daerah menggelar berbagai acara budaya menyambutnya.

Presiden Jokowi bahkan berencana melihat langsung gerhana di wilayah yang dilalui fenomena itu. Tentu semua itu dilaksanakan dengan alat yang tidak membahayakan mata penontonnya.

Dari sisi lain, di luar segala festival dan perayaan, peristiwa gerhana kali ini baik juga bila dijadikan pengingat bahwa kita memiliki matahari yang istimewa.

Keberadaan matahari sering tak dirasakan karena kehadirannya adalah sesuatu yang lumrah. Nah, bila sehari-hari kita menganggap sinarnya sebagai sesuatu yang biasa, maka gerhana bisa mengingatkan betapa sesungguhnya cahaya itu sangat berarti.

Gerhana memungkinkan kita dalam skala tertentu, sebentar merasakan bagaimana hidup tanpa matahari.

Meski tak lagi mendewakannya, melalui gerhana, kita patut mensyukuri betapa beruntungnya kita memiliki matahari, sang bintang kecil yang memiliki arti besar bagi kehidupan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com