Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnubrata
Assistant Managing Editor Kompas.com.

Wartawan, penggemar olahraga, penyuka seni dan kebudayaan, pecinta keluarga

Memaknai Gerhana Matahari, yang Kita Lupakan dari Bintang Kita

Kompas.com - 08/03/2016, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

KOMPAS.com — Dalam komik karya Herge, dikisahkan suatu ketika Tintin dan sahabatnya Kapten Haddock pergi ke Amerika Selatan, tepatnya di Peru, untuk menyelamatkan Profesor Calculus.

Profesor yang dalam komik versi Indonesia belakangan disebut Profesor Lakmus ini diculik orang-orang dari suku Inca karena memakai gelang keramat.

Sesampai di lokasi, keduanya justru ikut ditahan dan akan dihukum mati dengan cara dibakar menggunakan cahaya matahari.

Beruntung Tintin menemukan potongan koran yang mengabarkan bakal adanya gerhana matahari. Maka, ia memilih waktu pelaksanaan hukuman sesuai dengan jadwal terjadinya gerhana.

Saat mereka diikat di tiang untuk dibakar menggunakan suryakanta, matahari tiba-tiba tertutup bulan. Terjadi gerhana. Tintin mengatakan bahwa Dewa Matahari tidak berkenan membunuhnya. Orang-orang dari suku Inca pun ketakutan serta menganggap Tintin dan teman-temannya wakil para dewa.

Cerita di atas memang hanya kisah dalam komik berjudul “Tawanan Dewa Matahari.” Namun, sejatinya pemujaan terhadap matahari sebagai Tuhan dan dewa benar adanya.

Tidak hanya bangsa Inca, bangsa Mesir kuno juga memuja matahari dalam wujud Dewa Ra. Mereka meyakini bahwa Ra merupakan ciptaan paling awal, baru diikuti makhluk lain. Manusia bahkan diyakini berasal dari air mata Ra.

Sementara bangsa Jepang menganggap Dewi Matahari Amaterasu adalah leluhur kaisar mereka. Sedangkan dalam kepercayaan Hindu, matahari digambarkan sebagai Dewa Surya.

Keperkasaan matahari membuatnya didewakan oleh hampir semua bangsa di dunia. Dari suku-suku di Afrika hingga bangsa-bangsa di Skandinavia memiliki cerita soal matahari. Semuanya dihubungkan dengan kekuatan mahabesar, dari setara dewa hingga Tuhan.

Maka, tak heran bila peristiwa gerhana matahari selalu diikuti cerita dan mitos yang menakutkan. Hilangnya matahari membuat orang ketakutan akan hidup dalam kegelapan.

Orang-orang Tiongkok meyakini gerhana adalah peristiwa ditelannya matahari oleh naga raksasa. Sedangkan orang-orang Jawa, karena pengaruh Hindu, memercayai ada raksasa Kala yang menelan sang Surya. Di Skandinavia, serigalalah yang berperan sebagai pemangsa matahari.

(Baca: Hikayat Dendam Rau Batara Kala dan Gerhana)

Bagi beberapa budaya, gerhana bahkan dimaknai sebagai kiamat kecil. Maka, agar kiamat tidak benar-benar terjadi, warga mengusir para penelan surya itu dengan membuat bunyi-bunyi nyaring. Orang-orang di banyak daerah di Indonesia biasanya memukul lesung bertalu-talu hingga matahari muncul kembali.

Kini, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, matahari tak lagi dianggap sebagai dewa. Matahari “hanyalah” salah satu dari jutaan bintang yang ada di alam semesta.

Dia bukan pula yang terbesar, apalagi yang paling terang. Bintang terbesar adalah UY Scuti yang ukurannya 1.708 kali lebih besar dari matahari. Di hadapannya, matahari tampak bagai titik saja. Ada jutaan, bahkan lebih, bintang yang berukuran lebih besar dari matahari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com