Indonesia Sudah Terdampak Bencana Iklim

Kompas.com - 25/01/2016, 21:13 WIB
KOMPAS.com -  Indonesia sudah terdampak perubahan iklim dengan kenaikan suhu berkisar 0,16-1,44 derajat celsius. Kekeringan di beberapa tempat juga menyebabkan ketidakpastian musim tanam padi pertama tahun ini. Perubahan iklim juga ditandai kekacauan pola iklim di Tanah Air.

Lektor Kepala Bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor Alan Koropitan, Sabtu (23/1/2016), mengatakan, tak ada keraguan lagi perubahan iklim telah terjadi. Dampaknya perlahan sehingga tak disadari.

Dampak perubahan iklim nyata terlihat, misalnya, dengan meningkatnya frekuensi dan kekuatan siklon tropis. Sebelumnya, topan itu tidak melanda negara tropis seperti Indonesia. Namun, karena menguat, ekor badai tropis, kini, bisa mencapai Indonesia. "Tahun 2012 terjadi badai Iggy, sumbernya di Australia yang dampaknya hingga ke perairan Indonesia," kata Alan.

Direktur Centre for Climate Risk and Opportunity Management South East Asia Pacific Rizaldi Boer menegaskan, "Pemanasan global dan perubahan iklim menyebabkan pola iklim kacau sehingga petani sulit menentukan masa tanam." Di Cirebon dan Indramayu, misalnya, petani mengalami masa tanam mundur.

Dampak perubahan iklim tidak berdiri sendiri, tetapi bersifat memperbesar dan meningkatkan frekuensi bencana.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, badai Iggy menyebabkan naiknya frekuensi puting beliung dan menyebabkan 14 orang meninggal di beberapa daerah.

Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, wilayah Indonesia pernah terdampak langsung siklon tropis, yaitu siklon tropis Kirrily di atas Kepulauan Kei, Laut Banda, 27 April 2009. Kirrily memicu hujan lebat dan gelombang badai.

Bencana meningkat

Menurut Kepala Pusat Data dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, secara umum tren kenaikan bencana hidrometeorologi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan puting beliung mendominasi 90 persen kejadian bencana di Indonesia. "Bencana hidrometeorologi dipengaruhi dinamika iklim dan cuaca, selain juga faktor antropogenik (disebabkan manusia)," katanya.

Tahun 2002, bencana hidrometeorologi di Indonesia kurang dari 200 kejadian, tetapi tahun 2015 mencapai 1.665 kejadian. Selain pendataan lebih baik, menurut Sutopo, frekuensinya memang meningkat, terutama puting beliung dan banjir. Rata-rata setahun terjadi 445 kali banjir di Indonesia. Peningkatan bencana hidrometeorologi bukan hanya frekuensinya, juga sebaran, besaran, dan intensitasnya.

Dampak nyata lain dari perubahan iklim adalah seringnya terjadi El Nino dan La Nina. "Fenomena La Nina dan El Nino memang siklus berulang. Namun, jika sebelumnya terjadi 3-7 tahun sekali, sekarang lebih sering," katanya. "Berdampak terhadap ketahanan pangan ataupun bencana banjir dan kekeringan," katanya menambahkan.

Selain faktor perubahan iklim, intensitas bencana turut diperparah kerusakan lingkungan di permukaan. Kenaikan muka air laut di kota besar diperparah penurunan muka tanah akibat pengambilan air tanah berlebihan. Menurut Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Subandono, kota-kota di pesisir Pulau Jawa, seperti Pekalongan, 100 tahun mendatang akan tergenang air laut hingga 2,1 kilometer dari garis pantai sekarang. "Kota Semarang akan tergenang 3,2 kilometer dari garis pantai," ujarnya.

Di dunia, Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) pekan lalu melaporkan, di seluruh bulan sepanjang tahun 2015 suhu Bumi tercatat paling tinggi. Itu pertama kalinya sepanjang sejarah pengamatan suhu Bumi yang dimulai tahun 1880.

Pertama kalinya pula kenaikan sepanjang tahun 2015 adalah kenaikan temperatur tertinggi yang pernah terjadi.

Semua berkontribusi

Perubahan iklim terjadi akibat laju kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) setelah Revolusi Industri akibat penggunaan bahan bakar fosil.

Negara-negara di dunia bersepakat mencari jalan keluar melalui Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Upaya ditekankan pada pengurangan emisi GRK. Negara-negara maju (Annex 1) diwajibkan menurunkan emisi. Berdasarkan prinsip "sama tetapi berbeda tanggung jawab", negara berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim harus beradaptasi.

Negara-negara maju diminta membantu melalui skema-skema pendanaan, transfer teknologi, dan penguatan kapasitas.

Indonesia pada tahun 2009 menyatakan secara sukarela menargetkan pengurangan emisi GRK dibandingkan dengan emisi jika tak ada intervensi (business as usual/BAU) sebesar 26 persen secara mandiri dan 41 persen dengan bantuan asing. Lahirlah Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Belakangan, RAN-GRK dikaji ulang Bappenas. Dalam perjalanannya, RAN-GRK direvisi.

Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB, Desember 2015 di Paris, setiap negara diminta memasukkan niatan nasional untuk kontribusi pada pengurangan emisi GRK (INDC). Indonesia menargetkan penurunan emisi 29 persen dari BAU dan 41 persen dengan bantuan asing.

"Kami harus memastikan bagaimana melibatkan semua pihak untuk penurunan emisi. Target kami selesai tahun ini (INDC)," ujar Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nur Masripatin.

Jika Indonesia meratifikasi Kesepakatan Paris yang jadi acuan dunia, pemerintah harus mendapat persetujuan DPR dan pelaksanaannya diatur undang-undang. (IKI/AIK/ICH/JOG/ISW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau