Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah Kesepakatan Paris...

Kompas.com - 22/12/2015, 19:27 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

KOMPAS.com - Confrence of Parties (COP) 21) di Paris, Perancis berakhir pada Sabtu (12/12/2015), menelurkan kesepakatan bersejarah yang mengikat untuk mengatasi perubahan iklim.

Presiden COP 21 Paris sekaligus Menteri Luar Negeri Perancis, Laurent Fabius, mengatakan, “Paris Agreement memungkinkan setiap delegasi dan kelompok negara-negara untuk kembali ke rumah dengan kepala tegak,” kata

Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Christiana Figueres, menyebutkan Kesepakatan Paris menjadi sejarah bagi dunia untuk melakukan tindakan yang benar untuk bumi.

“Ini adalah perjanjian keyakinan. Ini adalah perjanjian solidaritas untuk yang paling rentan. Ini adalah kesepakatan dari visi jangka panjang, karena kita harus mengubah perjanjian ini menjadi mesin pertumbuhan yang aman,” katanya.

Ada lima butir kesepakatan. Diantaranya, negara peserta COP 21 bersepakat menjaga temperatur bumi di bawah 2 derajat menuju ke 1,5 derajat.

Selain itu, negara maju berkomitmen memberikan bantuan pendanaan pada negara berkembang dan rentan untuk aksi mengatasi perubahan iklim.

Meski negara peserta menganggap Kesepakatan Paris cukup memuaskan, kritik tetap muncul. Koordinator Keadilan Iklim dan Energi Friends of the Earth International (FoE), Dipti Bathnagar, mengatakan kesepakatan tak cukup adil dan ambisius.

Menurutnya, masyarakat rentan dan terdampak perubahan iklim mestinya mendapat hal yang lebih baik dari kesepakatan ini. Negara-negara maju telah menggeser harapan sangat jauh dan memberikan rakyat kesepakatan palsu di Paris.

Makna bagi Indonesia

Bagi Indonesia sendiri, Kesepakatan Paris dinilai cukup melegakan. Tak luput dari kekurangan memang, tetapi sejumlah usulan Indonesia diakomodasi dalam kesepakatan Paris.

Staf Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim Racmat Witoelar mengatakan, ada lima usulan Indonesia untuk masuk dalam kesepakatan.

Usulan itu di antaranya program pengurangan emisi dari kerusakan dan degradasi hutan (REDD) dan diferensiasi atau perbedaan kewajiban antara negara berkembang dan negara maju.

Usulan lain adalah implementasi rencana aksi masing-masing negara, termasuk antara negara berkembang dengan negara maju, dan komitmen menekan kenaikan suhu bumi maksimal 2 derajat atau 1,5 derajat.

Terakhir, usulan pembangunan kapasitas yang meliputi kapasitas sumber daya manusia, termasuk transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang.

Beberapa hari sebelum kesepakatan dibuat, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Paris menyebutkan, kesepakatan harus mencerminkan keseimbangan, keadilan, sesuai prioritas dan kemampuan nasional, mengikat, jangka panjang, ambisius, namun tidak menghambat pembangunan negara berkembang.

"Semua pihak harus berkontribusi lebih dalam aksi mitigasi dan adaptasi, terutama negara maju, melalui mobilisasi pendanaan 100 miliar dollar AS hingga 2020. Angka itu pun harus ditingkatkan untuk tahun-tahun berikutnya," ungkapnya.

Menurut Presiden, kerentanan dan tantangan perubahan iklim tersebut tidak menghentikan pada komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam aksi global menurunkan emisi.

Kepentingan Indonesia yang diakomodasi dalam Kesepakatan Paris bisa dipandang sebagai peluang. Indonesia mesti lebih punya kapasitas untuk melawan perubahan iklim.

What's Next?

Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29 persen di bawah ambang batas, pada tahun 2030. Penurunan emisi tersebut, dilakukan dengan mengambil langkah di bidang energi berupa pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif.

Selain itu, Indonesia juga punya target peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional pada tahun 2025.

Niat Indonesia untuk mengurangi emisi tercermin dalam Intended Nationally Determined Controbution (INDC). Indonesia fokus pada emisi dari sektor energi yang kian meningkat.

Namun sejumlah rencana Indonesia justru berkebalikan dengan upaya mengurangi emisi itu. Ambil contoh, rencana pemenuhan listrik 35.000 MW di mana sebagian besar bersumber dari batubara.

Batubara saat ini menjadi sumber emisi utama dari sektor energi. Peningkatan emisi batubara dari tahun 2000 hingga 2013 mencapai 5 kali lipat.

Data Sign Smart yang didapatkan lewat pengukuran emisi dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi mengungkap, tahun 2000, emisi karbon dioksida dari batubara masih 444.738 ton, tetapi pada tahun 2013 mencapai 2.290.082 ton.

"Dibutuhkan komitmen bersama untuk mencapai tujuan besar tersebut," demikian ungkap Al-Gore mantan Wapres Amerika Serikat dalam pidatonya di Paviliun Indonesia di COP 21 Paris.

Tantangan

Pelaksaanaan Kesepakatan Paris oleh Indonesia dipandang masih menjadi tantangan. Pertama, di tingkat pemerintah sendiri, di mana keseriusan masih diragukan.

Pakar perubahan iklim Universitas Bengkulu, Gunggung Seno Aji, mengatakan, kesiapan Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030 dengan dana sendiri masih dipertanyakan.

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam G 20 Pittsburgh dan COP 15 (2009) berniat menurunkan emisi GRK 26 persen hingga 2020. Dengan target saat ini, berarti ada peningkatan 3 persen dari komitmen sebelumnya dalam jangka 10 tahun.

Data sumber Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia (SNC,2009) sebanyak 60  persen disumbangkan oleh sektor kehutanan dan lahan gambut (LUCF and Peat fire), sektor energi 20 persen. Namun upaya mengurangi emisi dari sektor lahan saja belum berhasil.

"Upaya yang telah dilakukan sejak COP 15 tahun 2009, belum terlihat nyata, terlihat dari kebakaran hutan dan lahan termasuk gambut yang terus terjadi, puncaknya kebakaran lahan tahun 2015 ini," kata Gunggung.  

"Perubahan lahan hutan menjadi perkebunan (sawit) secara nasional terus bertambah, sehingga deforestrasi terus berlangsung," kata Gunggung.

Upaya menurunkan GRK dengan konsep REDD bisa berlangsung kalau pemerintah tegas mempertahankan hutan yang tersisa dan menghutankan kembali hutan yang telah rusak dengan melibatkan masyarakat lokal dalam pelaksanaannya.

Pemerintah Indonesia berencana membentuk Badan Restorasi Gambut untuk menata kawasan yang kerap terlanda kebakaran hutan itu. Namun menurut Gunggung, pembentukannya harus diawali dengan payung hukum yang melarang ekploitasi gambut.

Dampak perubahan iklim nyata. Para petani mengalami kebingungan karena anomali (kekacauan) cuaca. Musim tanam dan panen yang tak lagi bisa menjadi patokan karena musim hujan dan kemarau tak lagi seperti dahulu.

Sementara para nelayan juga terdampak sebab berkurang atau berpindahnya spesies ikan akibat suhu laut yang juga berubah. Pengetahuan lokal tentang navigasi juga jadi kurang berfungsi karena tanda alam mulai menghilang.

Mampukah Kesepakatan Paris tersebut diterjemahkan dengan baik mulai dari tingkat kepala negara bahkan kepala rumah tangga?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com