Bekerja sama dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi atau Kemenristek Dikti akan memulai langkah itu dengan memberikan penghargaan kepada peneliti di universitas ataupun lembaga penelitian yang berhasil memasukkan makalah hasil risetnya ke jurnal internasional.
"Kami sediakan dana Rp 50 miliar untuk tahap awal (selama tahun 2016)," kata Menristekdikti Muhammad Nasir.
Mekanisme
Nasir menuturkan, hasil riset tersebut harus memenuhi sejumlah syarat.
Pertama, makalah hasil riset harus dipublikasikan di jurnal yang terindeks oleh pengindeks jurnal bereputasi internasional, contohnya Thompson Reuters dan Elsevier.
Publikasi harus terbit dalam 5 tahun terakhir, dan belum pernah mendapatkan insentif sebelumnya.
Besarnya penghargaan ditentukan oleh impact factor dan jumlah sitasi.
Bila skor impact factor minimal 0,1 dengan jumlah sitasi 1-3, maka peneliti yang bersangkutan dapat menerima penghargaan sebesar Rp 50 juta.
Sementara itu, bila skor impact factor minimal 5 dengan sitasi lebih dari 3, peneliti yang bersangkutan bisa menerima penghargaan Rp 100 juta.
Besarnya jumlah penghargaan juga dinilai berdasarkan kontribusi bagi khazanah iptek, budaya, dan seni, serta faktor geografis, bidang ilmu, dan kategorisasi perguruan tinggi.
Selain itu, makalah ilmiah juga harus bebas plagiarisme.
Untuk mendapatkan penghargaan, peneliti bisa menunjukkan publikasi, impact factor, dan sitasi kepada LPDP.
Pendaftaran dibagi dalam dua gelombang, yakni 1 Februari-30 Maret 2016 untuk gelombang pertama dan 1 Juni-30 Juli 2016 untuk gelombang kedua.
Genjot semangat publikasi
Nasir mengharapkan, penghargaan bisa memacu semangat peneliti untuk menghasilkan riset bermutu, berdampak besar secara ilmiah, dan masuk jurnal high impact.
Dalam hal publikasi ilmiah, jumlah dari Indonesia memang masih rendah dibanding negara-negara besar di Asia lainnya, seperti China dan India.
Artikel ilmiah terindeks China dan India terus meningkat sejak tahun 2010, masing-masing mencapai sekitar 45.000 tulisan dan 10.000 tulisan.
Di tingkat Asia Tenggara, Indonesia juga kalah jauh dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Malaysia menembus angka 25.000 tulisan, sedangkan Thailand sekitar 12.000 tulisan.
"Indonesia cuma sedikit di atas Filipina," kata Nasir dalam konferensi pers yang diadakan pada Jumat (4/12/2015).
"Padahal, jumlah penduduk Indonesia jauh lebih besar dari Filipina, tetapi mereka bisa hampir menyamai kita," kata Nasir. "Ini mengkhawatirkan."
Rendahnya publikasi ilmiah menunjukkan bahwa knowledge capital atau modal pengetahuan Indonesia juga rendah.
Nasir percaya, modal pengetahuan, seperti publikasi ilmiah, merupakan modal dasar lahirnya inovasi. Inovasi adalah salah satu pembentuk daya saing bangsa, serta meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan.
Minimnya publikasi ilmiah berkorelasi dengan rendahnya daya saing bangsa.
Ranking daya saing bangsa Indonesia tahun 2015 turun. Dari posisi ke-34 pada tahun lalu, kini Indonesia menempati posisi ke-37.
Skor keseluruhan Indonesia, jika dinilai dari banyak aspek, sebenarnya tidak berubah. Namun, negara-negara lain ternyata mengembangkan daya saingnya lebih serius sehingga posisi Indonesia turun.
Di Asia Tenggara, Indonesia masih menduduki posisi keempat dalam daya saing bangsa. Indonesia kalah dengan Malaysia dan Thailand yang menduduki posisi ke-2 dan ke-3, setelah Singapura.