Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tinggi, Risiko Pembuatan Kanal Baru untuk Atasi Kebakaran Gambut

Kompas.com - 30/09/2015, 17:36 WIB
KOMPAS.com -  Upaya darurat pembangunan sodetan atau kanal-kanal baru untuk membasahi gambut kering berisiko tinggi. Tanpa pengawasan dan perbaikan, langkah yang dimaksudkan untuk mengalirkan air dari sungai ke lahan gambut itu justru bisa mempercepat pengeringan gambut pada masa mendatang.

Pembangunan kanal atau kanalisasi itu dicetuskan Presiden Joko Widodo saat memantau penanganan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah, 23 September 2015. Kanal-kanal itu bertujuan menampung air sebagai sumber cadangan air dan membasahi gambut setempat.

Konteks kanalisasi itu menyangkut revitalisasi kanal yang sudah ada dan pembuatan kanal baru selebar 40-50 sentimeter sebagai penghubung antarkanal untuk mempercepat pembasahan. Apabila kanal-kanal itu nantinya ditinggalkan, yang terjadi justru membuat gambut semakin kering karena air yang tersimpan teralirkan ke sungai.

Dikonfirmasi soal kekhawatiran itu, Selasa (29/9/2015), di Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar memastikan tak akan melupakan manajemen air pasca kebakaran, yakni penyekatan atau menghalangi air keluar dari kanal.

"Tolong dipahami kondisi di lapangan kering banget dan api harus mati. Harus ada air untuk mematikan dulu," katanya.

Sekalipun dibuat kanal baru, ujarnya, konteksnya untuk membasahi gambut. Ketika gambut basah, diharapkan efektif memadamkan bara di kedalaman yang selama ini sulit ditaklukkan.

Namun, apakah kanal ke arah sungai tak membuat air justru mengalir ke sungai? "Justru air harus masuk dari sungai," kata Siti seusai menutup pertemuan pakar gambut yang difasilitasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Terkait pengawasannya, kata Siti, dilakukan dinas pekerjaan umum di daerah. Apalagi, "kanalisasi" juga direncanakan pemerintah kabupaten setempat (Pulang Pisau).

Kepala Pusat Studi Bencana Universitas Riau Haris Gunawan mengingatkan, air dari sungai tak bisa otomatis memasuki kanal. Itu karena elevasi sungai lebih rendah dibanding gambut. Karena itu, air sungai harus dipompa mengisi kanal-kanal. "Harus dilihat aliran air ke mana lalu dibuat sekat-sekat," katanya.

Kondisi lapangan

Kussaritano dari Mitra Lingkungan Hidup Kalteng mengatakan, instruksi kanalisasi telah dilaksanakan di lapangan. Pembangunan dikerjakan mengerahkan alat berat dan tentara. Pola kanal itu bermuara ke Sungai Nusa, anak Sungai Tumbang Nusa dan Kahayan. "Apakah pengerjaannya didasarkan studi atau kajian pendahuluan?" katanya.

Kehati-hatian melalui kajian ilmiah penting mengingat lokasi itu dekat kubah gambut dalam. Selain itu, di lokasi yang ada di kanan-kiri jalan penghubung Kalteng-Kalsel selalu banjir saat musim hujan.

Ia pun mengingatkan di sekitar areal itu ada kanal-kanal masyarakat dan kanal irigasi pemerintah. Ia berharap revitalisasi kanal ataupun pembuatan kanal baru tak membawa dampak buruk. "Jangan sampai niat baik Presiden Joko Widodo pada praktiknya malah memperparah keadaan," kata Kussaritano.

Adapun Muhammad Teguh Surya, pengampanye politik hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan, pembangunan kanal baru riskan menjadi blunder dalam jangka panjang. "Pemerintah berjanji segera tutup kalau sudah dapat air, tetapi bagaimana memastikan itu dilakukan di lapangan. Presiden Joko Widodo yang memerintahkan juga perlu melakukan kontrol dan perintah langsung," ujarnya.

Ia berharap penggalian kanal baru tersebut dihentikan. Pengadaan air untuk mengisi embung atau kanal-kanal yang eksis bisa dilakukan dengan penyedotan langsung dari sungai atau menggunakan tangki air portabel. (ICH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com