Salah satu dampak paling mengerikan dari asap kebakaran hutan adalah akumulasi partikel berbahaya di udara. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengumpulkan data konsentrasi partikel berbahaya yang disebut PM10 itu. PM10 merujuk pada partikel polutan yang punya diameter maksimum 10 mikron atau sekitar sepertujuh rambut manusia.
Pengukuran dilakukan dengan perangkat PM10 yang dilengkapi dengan pipa, filter, dan penembak sinar beta. Udara akan masuk lewat pipa dan menuju filter. Sinar beta akan ditembakkan ke filter, menghasilkan jejak-jejak yang menunjukkan konsentrasi PM10. Hasil lalu dikonversi.
Hasil pengukuran cukup mengejutkan. Rata-rata harian konsentrasi PM10 di Riau pada Jumat (4/9/2015) mencapai 366,8767 mikrogram/meter kubik, dua kali lebih besar dari batas amannya, 150 mikrogram/meter kubik. Konsentrasi rata-rata harian PM10 di Palangkaraya juga tinggi pada 25 Agustus 2015 lalu, mencapai 293,9107 mikrogram per meter kubik. Seluruh data untuk Selasa (8/9/2015) dan Rabu menggunakan nilai tertinggi.
Di Jambi, konsentrasi PM10 memang masih normal. Namun, bila melihat angka Indeks Pencemaran Udara (IPU) yang diterbitkan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) setempat, udara juga tidak sehat. Sepanjang September 2015, angka IPU lebih dari 100, menunjukkan udara tidak sehat. Senin (7/9/2015), angka IPU mencapai 216, artinya udara sangat tidak sehat.
Dengan nilai PM10 dan IPU di udara yang melebihi ambang batas serta kebakaran hutan yang berlangsung dalam jangka waktu lama dan terulang setiap tahunnya, partikel bukan hanya berpotensi menimbulkan iritasi mata dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) tetapi juga memicu kanker dan penyakit yang lebih berbahaya dalam jangka panjang.
Data PM10 di Pekanbaru dan Palangkaraya menunjukkan angka 0 pada beberapa hari. Itu bukan berarti udara sangat sehat namun menunjukkan alat mengalami kerusakan sehingga pengukuran gagal dilakukan. Pemerintah perlu memberi perhatian sehingga alat
pengukuran pencemaran udara bisa terus berfungsi.
Distribusi Titik Api
Data Global Forest Watch Fires menunjukkan bahwa selama seminggu terakhir (sejak 2 September 2015 hingga hari ini), terdapat 103 titik api di Riau, terbanyak di Pelalawan. Sebanyak 26 titik api terdapat pada lahan konsesi pulp dan 34 titik api berada di konsesi kelapa sawit.
Di Sumatera Selatan, jumlah titik api jauh lebih banyak. Total mencapai 527 dalam sepekan terakhir. Jumlah titik api di Ogan Komering Ilir mencapai 2 kali lipat dari titik api di seluruh Riau. Dari seluruh titik api di Sumatera Selatan, 208 diantaranya terdapat di lahan konsesi akasia. Di lahan PT Rimba Hutan Mas, jumlah titik api adalah 156.
Sementara di Jambi selama seminggu terakhir terdapat 271 titik api. Sebanyak 61 persen dari titik api terdapat di lahan konsesi, baik kepala sawit, pulp, maupun logging. Sementara itu, 67 persen dari totak titik api terdapat di lahan gambut yang menyimpan banyak karbon.
Banyaknya titik api di lahan konsesi menimbulkan pertanyaan. Siapa yang bertanggung jawab atas titik api itu? Haris mengatakan, sulit untuk menentukan titik api dan kebakaran di wilayah konsesi adalah kebakaran atau pembakaran. Sulit pula untuk menentukan pelakunya.
Namun, kepada Kompas.com, Haris mengungkapkan, "kalau kebakaran itu berada di wilayah konsesi, maka perusahaan pemilik konsesi itu yang bertanggung jawab. Kalau terjadi kebakaran, maka bisa dianggap perusahaan itu lalai menjalankan tanggung jawabnya."
Di Kalimantan Barat, dari sebanyak 302 titik api selama seminggu terakhir, 56 persen berada di lahan konsesi. Sementara di Kalimantan Tengah distribusinya berbeda. Titik api selama seminggu terakhir berjumlah 641. Menurut data Global Forest Watch, sebanyak 73 persen berada di luar lahan konsesi.
Peneliti kebakaran hutan dan lahan dari Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo, mengatakan bahwa agar kebakaran hutan dan lahan tak terus terjadi, perlu pendekatan yang komprehensif. Ia mengapreasi langkah membuat sekat kanal di lahan gambut untuk mencegah kebakaran.
Namun, Herry juga mengingatkan, "Pembuatan sekat kanal juga tidak mudah. Perlu dipertimbangkan lokasinya. Nanti di sini basah dan di sana kering. Itu bisa memicu konflik horizontal antar masyarakat dan konflik antara masyarakat dengan pemilik konsesi."
Hari mengungkapkan, masalah kebakaran hutan harus diselesaikan dari hulunya. Sekat kanal yang efektif dalam skala kecil harus dimasifkan agar dampaknya terasa. "Yang juga penting adalah menyelamatkan kubah gambutnya. Bagaimana caranya kita hutankan kembali," katanya.
Menurut Haris, kebakaran hutan paling parah saat ini justru di Sumatera Selatan. Kebakaran di wilayah Riau sendiri saat ini lebih rendah dari tahun sebelumnya. Saatnya untuk menaruh perhatian pada provinsi lain seperti Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah serta Barat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.