Pembalut Berklorin? Jangan Cuma Heboh, Mari Cerna secara Ilmiah

Kompas.com - 10/07/2015, 10:21 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis


KOMPAS.com - Tiga hari terakhir, pembalut berklorin menjadi perbincangan hangat baik offline maupun online. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YKLI) pada Selasa (7/7/2015) lalu merilis hasil studi yang menyatakan bahwa 9 pembalut dan 7 pantyliner mengandung klorin.

Bukannya mencerahkan dan menggugah kesadaran pemerintah untuk bertindak, riset yang bermaksud melindungi masyarakat dari zat berbahaya itu malah berakhir antiklimaks. Publik bingung serta Kementerian Kesehatan pun ogah menindaklanjuti.

Klorin Apa?

Pertanyaan muncul karena YLKI dalam konferensi pers menyatakan bahwa sejumlah pembalut yang diteliti "mengandung klorin". Pertanyaannya kemudian, klorin dalam bentuk apa yang terdapat pada pembalut itu?

Anggota Harian YLKI, Ilyani Sudrajat, ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (27/7/2015) kemarin, mengungkapkan, "Yang kami analisis klorin bebas, Cl2." Pernyataan tersebut secara ilmiah agak ganjil.

Klorin bebas secara kimia adalah klor (Cl) yang tidak berikatan dengan atom lainnya. Klorin bebas dapat berupa molekul bermuatan netral klorin (Cl2) ataupun berupa ion hipoklorit dan hipoklorat.

Profesor farmakologi dari Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada (UGM), Zullies Ikawati, mengungkapkan, "Biasanya klorin bebas (dalam bentuk Cl2) terdapat dalam bentuk gas". Cl2 punya titik didih -34 derajat Celsius sehingga pasti berbentuk gas dalam suhu kamar.

Metodologi

YLKI mengungkapkan bahwa mereka melakukan analisis Cl2 dengan menggunakan spektofotometri. Pada dasarnya, teknik itu mengukur konsentrasi suatu senyawa dalam larutan berdasarkan spektrum warnanya.

Kepala Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono, mengungkapkan bahwa kemungkinan Cl2 berada dalam pembalut bisa saja ada, walaupun sangat kecil.

Taruhlan Cl2 memang ada pada pembalut. Agus mengatakan, sulit untuk mengukurnya dengan metode spektofotometri. "Kalau konsentrasinya sudah dalam ppm itu sulit dengan spektofotometri. Perlu metode yang lebih presisi, misalnya kromatografi gas," katanya.

Di samping itu, jika memang ada Cl2 dalam pembalut, pertanyaan juga bagaimana bisa membuat Cl2 yang biasa dalam bentuk gas tersebut bisa diukur dengan spektofotometri. Biasanya senyawa harus dilarutkan dahulu sehingga bisa diukur dengan metode itu.

Klorin, Dioksin, Klorit, atau Klorat?

Zullies mengungkapkan, jenis residu pada pembalut tergantung pada pross pemutihannya. Proses pemutihan dengan gas klorin akan meninggalkan produk samping berupa dioksin. Senyawa tersebut yang sebenarnya banyak dikgawatirkan sebab bersifat karsinogenik, memicu endometriosis.

Pemutihan juga bisa dilakukan dengan ECF (Elemental Chlorine Free). Ini artinya tidak menggunakan klorin bebas tetapi masih dengan senyawa yang mengandung klorin, yaitu klorin dioksida. "By product yang dihasilkan adalah klorit atau klorat," jelas Zullies.

Sementara, ada juga pemutihan yang benar-benar bebas klorin, dikenal dengan Total Chlorine Free (TCF). Senyawa yang digunakan adalah hidrogen peroksida, senyawa yang cepat bereaksi dan hampir tidak meninggalkan residu.

Nah, kembali lagi ke pertanyaan, apa yang sebenarnya dianalisis YLKI? Dioksin, klorit, atau klorat? YLKI harus memberi penjelasan. Apa memang residu itu yang dimaksud, atau memang gas klorin?

Lantas Kemenkes Benar?

Merespon hasil riset YLKI, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang Rabu lalu (8/7/2015) mengatakan, pembalut yang mengandung klorin aman.

"Ambang batas untuk klorin itu tidak dicantumkan di persyaratan internasional. Jadi, itu yang memenuhi syarat dengan ambang batas lemah. Kalau klorin dimakan, baru khawatir," ungkapnya dalam konferensi pers.

Tentang ambang batas, YLKI menyinggung Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 472/MENKES/PER/V/1996 tentang pengamanan bahan berbahaya bagi kesehatan. Klorin tercantum sebagai bahan kimia bersifat racun dan iritasi.

Linda mengatakan, "Klorin itu yang tidak boleh dikandung dalam makanan. Jadi, nanti akan kami klarifikasi sama YLKI kalau itu peraturan makanan, ya memang enggak boleh. Dalam SNI, tidak tercantum (standar klorin), di FDA juga tidak." Benarkah?

Batas Aman Tetap Perlu

Terlepas dari ganjilnya riset YLKI, Zullies dan Agus memandang bahwa standarisasi produk pembalut memang perlu dilakukan. Mengatakan bahwa pembalut berklorin pasti aman juga terlalu gegabah.

Zullies mengungkapkan, penggunaan klorin dalam pembuatan pembakut memang punya dampak positif yaitu mensterilkan. Namun, aman tidaknya residu akan sangat tergantung pada dosisnya.

Dalam ilmu zat racun, tak ada bahan yang benar-benar bisa dianggap bermanfaat atau racun. Jadi, apakah klorit dan klorat sebagai residu pasti aman? Zullies mengatakan, adanya wanita yang sering mengeluh gatal saat memakai pembalut bisa jadi tanda adanya iritasi yang disebabkan oleh klorit dan klorat.

"Untuk lebih menjamin, perlu ditentukan batas amannya, standar untuk pembalut berapa. Dan sebenarnya tidak cuma pembalut itu, tetapi juga produk diaper yang biaa dipakai bayi dan orang tua," ungkap Zullies.

Agus mengatakan, "Produk personal care memang saat ini belum ada batasannya." Penting juga untuk mendorong transparansi bahan yang digunakan untuk menyusun dan mengolah produk sehingga konsumen paham dan bisa memilih.

Yang Juga Perlu Direnungkan

Penting pula untuk memikirkan dampak penggunaan klorin selain pada tubuh kita. Walaupun mungkin pembalut yang diputihkan dengan gas klorin sudah tak ada, penggunaan klorin dioksida masih marak.

Ada banyak sekali pembalut yang diproduksi setiap hari atau bulannya. Bayangkan berapa banyak klorin dioksida yang digunakan. Seperti apa konsekuensinya jika limbah proses pemutihan itu banyak terlepas ke lingkungan? Adaklah efek merugikan dalam jangka panjang?

Mungkinkah membuat pembalut yang tak perlu diputihkan? Soal sterilisasi, mungkinkah dengan senyawa lain? Atau, mungkinkah usulan Tulus Abadi, juga dari YLKI, yang mengajak perempuan kembali memakai kain untuk pembalut selama haid diterapkan?


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau