Pernyataan itu diungkapkan oleh Ilyani Sudrajat, Anggota Harian YLKI, menyusul kontroversi yang muncul setelah rilis hasil riset pada Selasa (7/7/2015).
"Yang kami analisis klorin bebas, Cl2, metodenya dengan spektofotometer," kata Ilyani saat dihubungi Kompas.com, Kamis (9/7/2015).
"Yang melakukan analisis laboratorium yang sudah terakreditasi. Kami juga lakukan ini dengan dana YLKI sendiri," imbuhnya.
Menjadi masalah kemudian, bagaimana caranya sehingga klorin bebas tersebut bisa terdapat pada pembalut dan bagaimana laboratorium bisa mengukurnya?
"Biasanya klorin bebas terdapat dalam bentuk gas," kata Zullies Ikawati, profesor bidang farmakologi dari Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada (UGM).
Klorin dalam bentuk Cl2 memiliki titik didih -34 derajat Ceslius. Dalam suhu ruangan, unsur yang termasuk golongan halogen itu pasti berada dalam bentuk gas.
Memang, klorin bisa dicairkan dalam suhu kamar. Namun untuk bisa dicairkan, klorin harus dikondisikan dalam tekanan tinggi, sekitar 740 kPa.
Dengan fakta-fakta itu, bagaimana klorin dalam bentuk Cl2 berada dalam pembalut dan bagaimana diukur dengan spektofotometer?
Sangat baik tujuan YLKI melindungi konsumen. Namun, Zullies juga meminta agar YLKI menjelaskan lebih detail risetnya.
Penting bagi YLKI untuk menggelar pemaparan bersama laboratorium penguji guna menerangkan perkara penelitian. Kalau kredibel, laboratorium harus berani mengungkap.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan juga tak bisa hanya mengatakan bahwa pembalut yang beredar di Indonesia aman-aman saja.
Zullies mengungkapkan, banyak pembalut masih diputihkan dengan senyawa klorin dioksida dengan hasil samping klorit atau klorat. Penetapan batas aman tetap diperlukan.
Sebelumnya, YLKI menyatakan bahwa 7 merek pembalut yang beredar di Indonesia mengandung klorin. Kandungan tertinggi pada pembalut Charm, sebesar 54,73 ppm.
Begitu dirilis, kontroversi muncul. Sebab, senyawa yang biasa dikhawatirkan pada pembalut dan tampon adalah dioksin.
Dioksin merupakan senyawa karsinogenik, terbukti memicu endometriosis. Senyawa itu muncul sebagai produk samping proses pemutihan dengan gas klorin.
Kementerian kesehatan yang menggelar konferensi pers pada Rabu (8/8/2015) kemudian mengklaim bahwa semua pembalut di Indonesia tidak diputihkan dengan gas klorin dan bebas dioksin.
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang mengatakan bahwa pembalut dengan klorin (bukan dioksin) aman.
"Ambang batas untuk klorin itu tidak dicantumkan di persyaratan internasional. Jadi, itu yang memenuhi syarat dengan ambang batas lemah. Kalau klorin dimakan, baru khawatir," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.