Ikan Sekaligus Plastik di "Gyre" Samudera Hindia Disurvei

Kompas.com - 26/06/2015, 03:26 WIB

KOMPAS.com - Peneliti dari 12 negara, termasuk Indonesia, akan bekerjasama meneliti arus skala besar Samudera Hindia. Penelitian dilakukan dengan Kapal Riset Fridjoft Nansen Norwegia yang dioperasikan oleh Badan Pangan Dunia (FAO).

Riset akan dilakukan mulai 26 Juni 2015. Kapal akan berlayar lebih dahulu dari Tanjung Priok, melewati Selat Sunda hingga Christmast Island. Leg pertama riset akan dimulai 26 Juni hingga 16 Juli dari Christmas Island sampai Mauritius.

Survei kali ini adalah tahapan persiapan dari International Indian Ocean Expedition kedua(IIOE-2). IIOC-1 dilakukan tahun 1965 di mana Indonesia ikut serta dalam ekspedisi dengan Kapal Jalanidi.

Gyre

Reidar Toresen dari Institute of Marine Research of Bergen di Norwegia yang menjadi pimpinan  ekspedisi riset mengungkapkan, salah satu tujuan survei adalah mengungkap ekologi di lautan terbuka, khususnya daerah gyre.

Gyre merupakan arus laut skala besar yang terdapat di lautan terbuka, tercipta karena pengaruh gaya Coriolis dan Ekman Transport. Di dunia, terdapat lima gyre, satu di Samudera Hindia, dua di Samudera Pasifik, dan dua lainnya di Atlantik.

"Selama ini kita banyak tahu tentang ekosistem pantai. Tapi, ekologi dan produksi biologi di kawasan lautan terbuka tidak banyak dimengerti," katanya dalam acara pelepasan ekspedisi yang diadakan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (25/6/2015).

Indah Lutfiyati, peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang terlibat riset mengatakan, pada sejumlah 33 titik dari Christmas Island hingga Mauritius, tim peneliti akan menggunakan perangkat CTD untuk mengungkap hidrografi perairan Hindia.

"Kita akan ukur suhu, salinitas, kecepatan arus, klorofil, dan oksigen perairan," ungkapnya. Sejumlah parameter itu akan memberi petunjuk tentang kondisi ekosistem di gyre Samudera Hindia serta produktivitasnya.

Sementara itu, Andria Ansri Utama, peneliti dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, tim juga akan menggunakan perangklat akustik untuk memerkirakan stok ikan dan kekayaan jenis di wilayah gyre.

"Hasil riset dengan perangkat akustik akan kita bandingkan dengan hasil trawl. Setiap ikan itu memiliki fingerprint sendiri sehingga kita bisa tahu kelimpahannya dengan perangkat akustik," jelas Andria.

Mikroplastik

Toresen mengungkapkan, hal lain yang akan dilihat dalam survei awal kali ini adalah pengaruh gyre pada kehidupan ikan serta sirkulasi sampah laut. Arus skala besar berperan mengumpulkan sampah laut, utamanya plastik, di satu lokasi.

"Area gyre mungkin punya plastik dalam konsentrasi tinggi dan itu memengaruhi ekosistem," kata Toresen. "Kita tidak tahu ada seberapa banyak dan bagaimana efeknya. Tapi yang jelas kita tahu plastik itu ada di sana."

Indah menjelaskan, plastik yang terakumulasi di lautan bisa dalam bentuk mikroplastik, tak mudah dilihat mata. Plastik itu bisa dimakan oleh ikan-ikan kecil di area gyre. Dampak buruk mikroplastik kemudian bisa memengaruhi ikan-ikan besar yang dikonsumsi manusia.

"Untuk soal sampah itu, kita akan pakai trawl untuk dapatkan ikan-ikan. Dari situ ikan akan kita bedah dan lihat makanannya, apakah ada plastik atau tidak," kata Indah menguraikan salah satu metode melihat dampak plastik pada ikan.

Penting untuk Dunia dan Indonesia

Mark Smulders, representasi FAO untuk Indonesia, mengungkapkan bahwa riset kelautan penting. Laut menyediakan ikan yang menjadi sumber protein utama, memberikan jasa lingkungan, serta berperan menyimpan karbon.

"Masalahnya sekarang ekosistem laut juga terancam, antara lain karena polusi. Ekspedisi ini juga melihat degradasi lingkungan laut. Banyak mikrioplastik danyang akan mengganggu kesehatan manusia dan memengaruhi stok ikan," katanya.

Andria mengungkapkan, riset tentang mikroplastik juga akan memberi informasi penting bagi Indonesia. Samudera Hindia merupakan wilayah yang menyimpan stok ikan tuna. Indonesia emmanen tuna 105.000 - 180.000 metrik ton per tahun, diantaranya untuk ekspor.

"Gyre menjadi feeding ground tuna. Kalau banyak plastik di sana, itu mungkin akan dapat berakibat pada tuna yang bisa ditangkap Indonesia," ungkap Andria. Sampah akhirnya bisa mengganggu bisnis perikanan Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Maritim, Indroyono Soesilo, mengungkapkan selain terlibat survei awal, Indonesia juga akan mendukung IOCE-2. "Kita juga akan libatkan Kapal Riset Baruna Jaya," dan Kapal Madidihang-3," katanya.

IIOE-2 akan diluncurkan Desember 2015 dan berlangsung selama tiga tahun. Indroyono berharap bahwa IIOE-2 juga akan memberi informasi tentang dinamika di Samudera Hindia, seperti Dipole Mode, pada cuaca dan iklim Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau