Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan Psikiatri untuk Dokter di Pelayanan Primer

Kompas.com - 08/06/2015, 10:46 WIB
dr Andri, SpKJ, FAPM

Penulis


Artikel ini dibuat ketika Saya sedang berada di Osaka Jepang dalam rangka mengikuti World Psychiatric Association Regional Meeting 2015. Acara yang kali ini bertema "Asia Partnership in The World" kali ini berlangsung selama 3 hari sejak tanggal 4 Juni sampai dengan tanggal 6 Juni 2015.

Saya kali ini berkesempatan untuk berbicara di dua simposium berbeda, yang pertama berkaitan dengan tema "How Can We Improve Consultation Liaison Psychiatry?" dan yang kedua berhubungan dengan bagaimana Tantangan Dalam Pengobatan Psikiatri di Indonesia.

Kemarin saat mendengarkan kuliah dari Prof Michelle Riba dari University of Michigan yang mengemukakan bahwa psikiater di Amerika Serikat jarang mendapatkan rujukan dari dokter di pelayanan primer karena mereka pikir masalah psikiatri bisa juga dikerjakan di pelayanan primer.

Masalah inilah yang membuat Prof Riba sejak lama mulai memfokuskan pada meningkatkan kompetensi dokter umum di pelayanan primer untuk menambah pengetahuan tentang diagnosis dan tata laksana masalah psikiatri.

Bagaimana di Indonesia?

Sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012 kompetensi dokter umum untuk melakukan terapi paripurna terhadap pasien dengan gangguan psikiatrik adalah untuk insomnia dan gangguan Somatoform.

Dalam praktek sehari-hari sebagai dokter umum tentunya akan lebih mendapatkan kasus-kasus dengan gangguan fisik termasuk insomnia. Hanya saja masalahnya bahwa banyak sekali gangguan fisik maupun kejiwaan yang mempunyai gejala insomnia atau sulit tidur. Contoh misalnya gangguan depresi berat, sering kali pasien yang mengalami ini juga mengeluh sulit tidur. Gejala gangguan tidurnya bisa sangat dominan sehingga mengurangi "nilai" keluhan depresi yang lain.

Walaupun gejala gangguan depresi biasanya tidak hanya insomnia saja tetapi gejala psikologis seperti tiada harapan hidup, suasana perasaan menurun yang merupakan gejala depresi jarang ditanyakan atau dideteksi oleh dokter umum. Kondisi ini yang bisa membuat masalah psikiatrik bisa tidak terdiagnosis di pelayanan primer.

Gangguan somatoform juga demikian. Rata-rata dokter memandang gangguan somatoform yang banyak gejala fisiknya sebagai diaganosis eksklusi. Artinya pasien dengan masalah-masalah gangguan fisik pasti perlu melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang yang lengkap terelebih dahulu. Jika dalam kondisi pasien tidak ditemukan dasar dari gejala-gejala fisiknya maka diagnosis gangguan somatoform mungkin akan dipikirkan.

Dalam praktek sehari-hari ternyata tidak banyak mungkin dokter umum yang akan memperhatikan masalah dasar kejiwaan dari suatu keluhan fisik yang kompleks. Walaupun sering kali tanpa dasar, gejala-gejal fisik yang dialami oleh pasien sering membuat dokternya pun frustasi dalam menangani apalagi jika tidak melakukan pendekatan biopsikososial.

Penanganan masalah somatoform juga biasanya tidak dengan obat-obatan tapi dengan psikoterapi. Jika diperlukan obat biasanya adalah masalah gangguan fisik yang didasari oleh gangguan cemas.

Kondisi ini tentunya memerlukan penanganan psikiater. Inilah kesenjangan yang timbul dalam praktek sehari-hari, kompetensi dokter umum untuk melakukan psikoterapi sangat kurang dan kemampuan tata laksana untuk masalah ganguan cemas juga tidak terlalu baik karena lebih sering mengandalkan obat golongan benzodiazepine saja.

Hal ini kemudian ditambah dengan dalam masa kepaniteraan klinik atau dikenal dengan masa koas. Mahasiswa kedokteran yang melakukan kerja praktek di bagian ilmu kedokteran jiwa atau psikiatri lebih sering melakukan kerja prakteknya di rumah sakit jiwa. Ini membuat kebanyakan mahasiswa juga lebih sering berhadapan dengan pasien rawat inap yang mengalami gangguan jiwa yang berat. Sedangkan kasus-kasus klinik yang dibarengi juga dengan masalah psikiatri amat jarang ditemukan.

Dok pribadi Penulis saat menghadiri World Psychiatric Association Regional Meeting 2015 di Osaka, Jepang.

Langkah ke depan

Peningkatan kompetensi dokter umum untuk menangani kasus psikiatrik secara paripurna perlu dipikirkan oleh para pembuat kebijakan yang berkaitan dengan kompetensi dokter umum. Negara-negara maju dalam pelayanan primernya dibantu banyak oleh seorang case manager yang bisa berasal dari seorang perawat jiwa atau dokter umum terlatih. Seorang case manager menjadi jembatan penghubung antara psikiater yang berada di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum dengan pasien yang berada di masyarakat.

Dalam presentasinya kemarin dan hari ini Prof Michelle Riba mengatakan betapa perlunya seorang case manager dan care manager dalam model pelayanan kesehatan jiwa modern.  Ke depannya dengan apa yang didapat pada kesempatan tadi bisa membuat arahan bagi perkembangan kesehatan jiwa di Indonesia.

Salah satu upaya adalah menambah keterampilan dan kepercayaan diri dokter umum untuk melayani pasien gangguan jiwa. Apalagi ke depan Kementerian Kesehatan kabarnya akan menambah kompetensi dokter di pelayan primer untuk bisa merawat pasien skizofrenia di rawat jalan dan juga menangani masalah gangguan kecemasan.

Psikiater juga bisa diharapkan untuk ikut aktif mengedukasi dokter pelayanan primer untuk bisa mampu mengenali dan sedikit banyak memberikan pengobatan sesuai kompetensi yang ada.

Salam Sehat Jiwa.  

Dr.Andri, SpKJ FAPM, Psikiater dan Staf Pengajar di Fakultas Kedokteran UKRIDA, Jakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com