Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ALS dan Cerita tentang Jiwa yang Terpenjara dalam Tubuh Kaku

Kompas.com - 03/06/2015, 20:51 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

Dalam tahap akhir, penderita ALS bisa mengalami kerusakan saraf yang mengendalikan gerakan diafragma. Akibatnya, pasien mengalami gagal nafas. Banyak penderita ALS meninggal dunia akibat gagal nafas.

"Penderita ALS secara umum punya waktu 3-5 tahun hingga akhirnya meninggal," kata Sheila. Namun, hal-hal luar biasa selalu bisa terjadi. Seperti Stephen Hawking yang bisa bertahan puluhan tahun dengan kondisi ALS-nya.

Belum ada obat yang bisa mencegah kondisi ALS menjadi lebih buruk. Ada satu obat bernama riluzole  yang telah disetujui oleh Food and Drugs Administration (FDA) di Amerika Serikat. Namun, obat itu juga tak sepenuhnya bisa mencegah degenerasi.

Pengobatan lain adalah dengan sel punca. Suwarti sempat mencoba pengobatan ini dua kali di rumah sakit di Beijing, China. Namun, Alice mengatakan, "Efeknya cuma bisa dirasakan satu sampai dua bulan. Tidak sebanding dengan biayanya."

Bukan Cuma Satu

ALS tergolong penyakit langka yang jumlah penderitanya di Indonesia belum diketahui hingga saat ini. Namun yang jelas, penderitanya tak cuma satu. Salah seorang penderita lain adalah Premana Premadi, ahli kosmologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB).

"Masalah awal yang terperhatikan adalah bicara saya tiba-tiba aneh, kombinasi antara parau dan slurred, padahal saya tidak sedang flu atau batuk. Itu menjelang akhir 2009," cerita wanita yang akrab dipanggil Nana itu.

Pemeriksaan ke spesialis THT menunjukkan bahwa pita suara Nana lumpuh separuh tanpa gejala infeksi. Beberapa bulan kemudian, kaki kiri mulai sulit digerakkan sehingga Nana memeriksakan diri ke spesialis saraf.

Untuk mengetahui bahwa penyakit yang dideritanya adalah ALS, Nana harus melakukan pemeriksaan ke Singapura. Pemeriksaan di luar negeri dibutuhkan untuk mengonfirmasi sebab tes LS memang sulit dan tricky.

"Pada tahun pertama progress penyakit lumayan cepat. Kondisi kekuatan tubuh saya drop dengan cepat. Selain kaki kiri yang semakin lemah, tangan kiri juga melemah, dan kesulitan menelan. Nafas mulai terganggu," urai Nana.

"Mengajar pun saya sudah tidak lagi bisa berdiri dan mondar-mandir di kelas, menulis di papan tulis. Utamanya karena saya dengan cepat tersengal-sengal. Saya mengajar sambil duduk. Kasihan murid-murid saya pasti bosan," imbuhnya.

"Awal 2014 saya terakhir kali dapat naik ke lantai 4 dan berakibat saya mengalami serangan gangguan pernafasan yang membuat saya dirawat di rumah sakit," terangnya. "Aktivitas sosial saya jauh berkurang, betul-betul yang bermakna dan penting saja."

Baik Alice maupun Nana meyakini bahwa penderita ALS di Indonesia cukup banyak. Hanya saja survei tak pernah dilakukan. Karena kesulitasn identifikasi, banyak penderita ALS mungkin menerima diagnosis yang keliru.

Perlu Dukungan

Di tengah sebab dan obat ALS yang belum bisa ditemukan, Alice dan Nana punya beberapa harapan bagi kelangsungan hidup penderita ALS. Salah satunya adalah informasi. "Informasi tentang ALS dalam bahasa Indonesia sangat minim," kata Nana.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com