Hanom Bashari, spesialis konservasi biodiversitas dari Burung Indonesia, mengungkapkan, jumlah kakatua putih yang diperdagangkan per tahunnya mencapai 1.200 individu. Banyak hasil buruan dibawa lari ke luar negeri, terutama Filipina.
"Untuk kasturi ternate jauh lebih besar, bisa 16.000 ekor per tahun," ungkap Bashari yang ditemui Kompas.com seusai konferensi pers tentang kasus penyelundupan kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea) di kantor Yayasan Kehati, Senin (11/5/2015).
Oknum yang terlibat perdagangan burung khas Halmahera itu mencakup masyarakat lokal yang bertugas memburu, pasar ekspor, pemasok, kemungkinan aparat kepolisian, dan anak buah kapal.
Burung dibawa dengan menggunakan kapal laut sebelum akhirnya diekspor atau didistribusikan ke wilayah lain di Indonesia. "Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, punya peran penting dalam distribusi burung liar dari Indonesia Timur," kata Hanom.
Selama perjalanan di kapal laut, acap kali burung liar mendapatkan perlakuan keji sehingga memudahkannya dibawa tanpa diketahui pihak berwenang. Perlakuan pada kakatua misalnya dibius, dan ditempatkan dalam pipa atau botol.
Aksi perburuan kakatua putih dan kasturi ternate merugikan secara ekonomi. Bila harga jual dikalikan dengan jumlah individu yang dijual, Indonesia merugi miliaran hingga triliunan per tahun. "Satu kakatua putih bisa dijual Rp 15 juta," kata Hanom.
Selain kerugian ekonomi, Indonesia juga terancam mengalami kerugian secara ekologi. Kakatua putih merupakan burung khas Halmahera, sementara kasturi ternate juga hanya dijumpai di wilayah terbatas, yaitu Halmahera, Ternate, dan sekitarnya.
Perhimpunan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) dalam "daftar merah"-nya sudah menyatakan kakatua putih sebagai burung "terancam punah", dan kasturi ternate sebagai spesies yang "rentan punah".
Perburuan secara terus-menerus pada dua spesies burung itu mengancam kelangsungan hidupnya. "Kalau akhirnya spesies itu punah, Indonesia akan kehilangan kekayaan hayati yang khas itu," kata Hanom.
Kemampuan reproduksi kakatua putih dan kasturi ternate sangat terbatas, hanya bertelur 2-3 butir dalam setahun. Kepunahan bisa terjadi dalam waktu dekat karena volume perburuan yang jauh melebihi kapasitas reproduksi.
Sofi Mardiah, Manajer Program Kebijakan dan Pengawasan Perdagangan Satwa Liar dari Wildlife Conservation Society (WCS) mengungkapkan penguatan langkah penegakan hukum, misalnya dengan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam.
Hukuman bagi pelaku perdagangan satwa liar perlu diperberat. "Perdagangan satwa liar itu nilainya miliaran, triliunan. Kalau hukumannya kurang dari satu tahun dan dendanya hanya Rp 100 juta, setelah keluar, pelaku akan kembali memperdagangkannya," kata Sofi.
Hanom mengatakan, penegakan hukum penting untuk memutus permintaan terhadap jenis-jenis kakatua. Ia mengatakan, diperlukan pula pengawasan lebih ketat dengan melibatkan kepolisian dan tentara untuk membantu mengungkap kasus-kasus perburuan dan perdagangan satwa liar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.