Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selamatkan Burung Kakaktua Sebelum Tinggal Lagunya

Kompas.com - 11/05/2015, 21:25 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis


KOMPAS.com
 — "Burung kakaktua, hinggap di jendela. Nenek sudah tua giginya tinggal dua.
Tekdung, Tekdung, tekdung, tekdung tralala... Tekdung, tekdung tralala... Tekdung, tekdung, tekdung tralala... Burung kakaktua"

Lama menjadi keseharian anak-anak lewat lagu "Burung Kakaktua", golongan burung kakaktua kini terancam dan bukan tak mungkin akan punah di masa depan karena perburuan dan perdagangan liar yang terus berlangsung.

Senin (4/5/2015), polisi menyita 24 burung kakaktua jambul kuning (Cacatua sulphurea) yang dibawa oleh salah satu penumpang kapal KM Tidar jalur pelayaran Papua-Makassar-Surabaya-Jakarta yang turun di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

Mirisnya, kakaktua jambul kuning itu dibawa dengan dimasukkan botol air mineral setelah sebelumnya dibius. Mengarungi perjalanan selama lima hari di atas kapal dan di dalam botol, sebagian kakaktua jambul kuning itu mati.

Kasus penyelundupan kakaktua jambul kuning di Tanjung Perak itu hanya salah satu dari lima penyelundupan yang terungkap dalam lima bulan terakhir. Kakaktua jambul kuning pun cuma salah satu jenis kakaktua yang diburu dan diperdagangkan.

Hanom Bashari, Spesialis Konservasi Biodiversitas dari Burung Indonesia, mengatakan bahwa golongan kakaktua yang kini paling banyak diperdagangkan adalah spesies kakaktua putih (Cacatua alba).

"Selama satu tahun, kurang lebih ada 1.200 ekor yang diperdagangkan," ungkap Hanom saat ditemui dalam konferensi pers tentang kasus penyelundupan kakaktua jambul kuning di Yayasan KEHATI pada Senin (11/5/2015).

Angka perburuan melebihi kapasitas reproduksi kakaktua putih itu sendiri. "Setiap tahun, satu kakaktua putih hanya menghasilkan dua telur. Dari dua telur itu, tidak semua akan bisa menetas."

Perburuan secara terus-menerus dalam jumlah besar membuat spesies yang sudah masuk kategori "Terancam Punah" menurut Perhimpunan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) itu semakin tertekan.

Apabila tidak ada langkah penyelamatan, maka spesies itu pasti punah dalam waktu dekat. "Apalagi kakaktua putih ini endemik Halmahera, hanya terdapat di sana. Kalau sampai punah, ya sudah benar-benar hilang," ungkap Hanom.

Perdagangan kakaktua jambul kuning sendiri, kata Hanom, sebenarnya relatif menurun. Namun, jenis itu sudah kadung masuk kategori "Sangat Terancam Punah" menurut Daftar Merah IUCN setelah puluhan tahun diperdagangkan.

IUCN menyebutkan bahwa 25 tahun terakhir pada abad 20, spesies endemik Indonesia dan Timor Leste itu berkurang drastis. Di Sumba yang diduga habitat terbaik, populasi burung itu tinggal 3.200 pada tahun 1992.

Populasinya terus menurun. Tahun 2012, jumlah kakaktua jambul kuning di Sumba diperkirakan hanya tinggal 563. Sementara di Sulawesi dan Buton, jumlahnya tinggal sekitar 500. Dengan populasi yang tersisa, maka 24 ekor yang baru saja diselundupkan tak bisa dibilang kecil.

Sofi Mardiah, Manager Program Kebijakan dan Pengawasan Perdagangan Satwa Liar dari Wildlife Conservation Society (WCS), menilai bahwa kasus perdagangan kakaktua dan satwa liar lainnya marak karena lemahnya penegakan hukum.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pelaku perburuan dan perdagangan satwa liar terancam hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

Namun demikian, selama ini tak banyak tindakan perdagangan yang mendapatkan hukuman sesuai UU tersebut. Sofi mencatat, "Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir setidaknya ada 30 kasus perdagangan kakaktua yang rata-rata hukumannya kurang dari satu tahun."

Berkomentar tentang penyelundupan kakaktua jambul kuning, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa pelaku penyelundupan patut dihukum. Sementara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyerukan penyelamatan kakaktua jambul kuning.

Namun, ungkapan itu saja tak cukup. Sofi mengatakan perlunya revisi UU No 5 Tahun 1990 sehingga hukuman yang dikenakan terhadap pelaku penyelundupan satwa liar bisa diperberat dan memiliki efek jera.

"Perdagangan satwa liar itu nilainya miliaran, triliunan. Kalau hukumannya kurang dari satu tahun dan dendanya hanya 100 juta, setelah keluar pelaku akan kembali memperdagangakan," kata Sofi.

Selain hukuman penjara yang lebih berat, pelaku perdagangan satwa liar semestinya bisa dimiskinkan seperti pelaku korupsi. Dengan demikian, setiap orang bisa berpikir berulang kali untuk melakukannya.

Revisi juga diperlukan untuk menjawab kebutuhan perlindungan spesies. Selama ini, spesies hanya dibagi menjadi dilindungi dan tidak dilindungi. Tidak ada aturan tentang pemanfaatan spesies tertentu.

Sofi mengungkapkan, ketidakjelasan itu berisiko. Spesies yang tidak dilindungi bisa berkurang drastis bila tak diatur penangkapannya. Ia mengatakan perlunya kategorisasi yang lebih detail serta aturan penangkapan suatu spesies.

Hanom mengatakan, penegakan hukum penting untuk memutus permintaan terhadap jenis-jenis kakaktua. Ia mengatakan, diperlukan pula pengawasan lebih ketat dengan melibatkan kepolisian dan tentara untuk membantu mengungkap kasus-kasus perburuan dan perdagangan satwa liar.

Petisi penyelamatan kakaktua jambul kuning kini terdapat di situs web Change.org. Hingga saat berita ini diturunkan, sudah ada 18.443 orang yang ikut mendukung petisi yang dibuat oleh Pokja Kebijakan Konservasi itu. Butuh 6.557 orang lagi untuk mencapai 25.000.

Siapa pun bisa membantu menyuarakan perlindungan kakaktua jambul kuning dan lainnya dengan mendukung petisi itu. Lebih penting untuk tidak ikut memelihara jenis itu dan melaporkan tindakan perdagangannya bila mengetahui. Keikutsertaan warga membantu agar kakaktua tak cuma tinggal lagu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com