Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Aprilani Soegiarto, Pakar Maritim Indonesia yang Sempat Diduga Agen CIA

Kompas.com - 30/04/2015, 21:41 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

Tahun 1976, dia memelopori berdirinya Program Group on Western Pacific di Tokyo, dan menjadi ketua pertamanya. Awal tahun 1980-an, dia menjadi anggota Executive Council Intergovernmental Oceanographic Commision (IOC) di UNESCO.

Tahun 2003, dia menerima Appreciation Awards dari Worldfish Center, lembaga tempat Aprilani juga pernah menjabat sebagai wakil ketua. Di Asia Tenggara sendiri, oleh para peneliti, Aprilani dijuluki Bapak Ilmu Kelautan Asia Tenggara.

Puluhan tahun berkarya, Aprilani punya banyak pengalaman unik. Misalnya saat menyelesaikan studi S-3 di Universty of Hawaii, ketika dia harus mengirimkan sampel plankton ke dosennya.

Aprilani yang pada tahun 1967 juga berpangkat letnan tituler di Angkatan Laut dicurigai bekerja sama dengan pihak asing. Ia dituduh "membocorkan rahasia negara" dan "menjadi agen Central Intelligence Agency (CIA) di Amerika Serikat.

Anugerah menuturkan, rumah Aprilani yang saat itu berlokasi di kawasan Kebun Raya Bogor sempat digeledah. Aprilani kemudian dikonsinyasi selama 38 hari di Markas Besar Angkatan Laut (MBAL) di Gunung Sahari, Jakarta.

Pemeriksaan kemudian menunjukkan bahwa Aprilani tak terbukti membocorkan rahasia negara dan menjadi agen CIA.

Lucunya, pria yang berjulukan "flying director" sebab punya jam kerja tinggi itu malah kemudian menjadi pengajar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Bagian Laut (Sesko-AL) dan Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas).

Aprilani menuturkan, masalah tuduhan agen CIA sebenarnya dipicu oleh konflik di internal LIPI saat itu. Akhirnya, konflik berimbas pada dirinya, yang kala itu sebenarnya juga masih staf baru di lingkungan LIPI.

Memasuki usia 80 tahun ini, Aprilani masih punya banyak angan tentang Indonesia dan maritimnya.

Ia mengakui bahwa program Presiden Jokowi serta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah cukup baik. Upaya tol laut dan pengendalian perikanan ilegal adalah beberapa hal yang disebutnya sebagai prestasi.

Namun, dia merasa bahwa masih banyak hal yang harus diupayakan, seperti pengolahan hasil laut agar tak hanya dijual dalam kondisi mentah. Aprilano mencontohkan pengolahan rumput laut yang saat ini masih kurang.

"Tahun 1960-an, saya mulai perkenalkan budidaya rumput laut. Sekarang saya bersyukur sudah banyak, tetapi sayangnya diekspor mentah, tidak diolah," ungkapnya.

Menurut dia, rumput laut seharusnya bisa diolah dalam bentuk barang jadi yang berkualitas sehingga punya nilai tambah. "Misalnya menjadi tepung," kata pria yang ikut mendirikan Himpunan Untuk Kelestarian Lingkungan Hidup (Hukli) yang selanjutnya bersama 9 organisasi lainnya dilebur menjadi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Hal lain yang menurut dia masih perlu diupayakan adalah pemberdayaan para peneliti dan pekerja teknis riset kelautan. Fasilitas riset bisa diperkuat, dan dananya bisa diperbesar. Namun bila tak disertai sumber daya yang ahli dan terampil, maka hasilnya percuma.

"Bahkan, seorang pengambil sampel dan tukang las untuk tujuan riset pun harus ada pelatihan agar punya skill yang baik," katanya.

Ia berharap kelautan Indonesia bisa maju. Untuk itu, Hal tersebut membutuhkan target-target yang tepat dan realistis. Peningkatan riset dan pemberdayaan peneliti, menurut dia, merupakan salah satu pilar utama agar Indonesia menjadi poros maritim dunia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com