Tim ilmuwan asal China yang dipimpin oleh Junjiu Huang dari University of Ghuangzhou adalah pihak yang berhasil melakukan modifikasi embrio atau mengedit genom.
Huang dan rekannya mengoleksi 89 embrio non-viabel. Embrio non-viabel adalah embrio yang tidak bisa berkembang menjadi bayi. Sebabnya, embrio itu adalah hasil persatuan satu sel telur dan dua sperma, memiliki tiga inti.
Modifikasi dilakukan untuk menghapus gen HBB, gen yang menyebabkan beta-talasemia atau sel darah merah yang berbentuk bulan sabit.
Apabila seseorang memiliki sel darah merah berbentuk bulan sabit, maka kemampuannya untuk mengikat oksigen kurang. Orang yang memiliki dua sel resesif talasemia biasanya takkan berumur lama.
Untuk mengedit gen itu, Huang menggunakan CRISPR/Cas9. Sistem itu bisa diibaratkan sebagai gunting molekuler.
Si gunting molekuler diinjeksikan pada 89 embrio yang tersedia. Selanjutnya, pendiaman dilakukan selama 48 jam agar CRISPR/Cas9 bisa beraksi menggunting gen dan embrio sendiri bisa berkembang sampai tahap delapan sel.
Setelahnya, ilmuwan memeriksa keberhasilan proses edit. Apakah gen HBB sudah terpotong? Apakah ada kesalahan edit seperti salah potong gen?
Hasilnya, dari 89 embrio, hanya 71 yang tetap hidup. Sementara itu, hanya 54 yang memenuhi syarat untuk dianalisis secara genetik. Dari jumlah itu, proses edit hanya berhasil dilakukan terhadap 28 embrio, dan hanya beberapa yang akhirnya mengandung gen pengganti.
Huang mengakui, ia masih gagal. "Jika Anda melakukannya pada embrio normal, maka harus mendekati 100 persen. Makanya, kami berhenti. Ini masih terlalu dini," ungkapnya kepada BBC, Rabu (22/4/2015).
Huang dan timnya juga menjumpai banyak mutasi yang tak terkendali. Mutasi yang terdeteksi jauh lebih tinggi dari mutasi yang terjadi dalam studi edit genom dengan embrio tikus dan sel manusia dewasa.
Mutasi yang dijumpai belum mencerminkan jumlah total mutasi karena analisis hanya dilakukan pada bagian genom yang disebut exome. "Kalau kita lihat genom keseluruhan, akan ada banyak lagi," kata Huang.
Masalah etika
Modifikasi embrio yang dilakukan Huang menuai reaksi keras dari sejumlah ilmuwan dunia. Mereka mempermasalahkan etika penelitian itu.
Hannah Brown, post-doctoral fellow dalam bidang epigenetik reproduksi di University of Adelaide, dalam tulisannya di The Conversation, Senin (27/4/2015), mengungkapkan, ada dua masalah besar tentang etika dalam penelitian yang dilakukan Huang.
Brown mengungkapkan, meski menggunakan embrio yang non-viabel, penggunaan embrio manusia tetap bermasalah. Modifikasi embrio sendiri juga bermasalah secara etika.
Masalah etika kedua muncul seiring banyaknya mutasi yang tak diinginkan dalam penelitian. Dengan tingkat mutasi besar, bila langkah ini nanti dilakukan terhadap embrio manusia yang berfungsi, kondisi bayi yang dihasilkan tak bisa diketahui dengan pasti.
Modifikasi embrio, yang sebenarnya mengandung maksud baik, justru bisa menghasilkan kecacatan-kecacatan yang tak diinginkan.
Huang mengungkapkan bahwa dia telah menulis makalah risetnya dalam jurnal Nature dan Science. Namun, kedua jurnal itu menolak memublikasikan dua makalah itu karena riset masih punya efisiensi rendah dan tingkat mutasi tinggi.
Huang menerima kritik tersebut. Namun, dia juga merasa perlu memublikasikan risetnya. Pendekatan dengan embrio non-viabel efektif karena mendekati embrio manusia sebenarnya.
Edward Lanphier, Presiden Sangamo Biosciences di California, mengatakan, banyaknya masalah dalam riset Huang bisa menjadi sebuah peringatan.
"Ini menggarisbawahi yang kita katakan sebelumnya. Kita perlu menghentikan sementara riset ini, dan memastikan ada banyak diskusi tentang ke mana arah kita selanjutnya."
Sementara itu, Huang masih akan terus dengan risetnya. Dia akan menggunakan sel manusia dewasa atau hewan untuk mencoba mengedit gen talasemia dengan tingkat mutasi lebih rendah.