Malapetaka Besar akibat Merkuri Mengancam Indonesia

Kompas.com - 20/04/2015, 20:50 WIB

KOMPAS.com - Malapetaka besar akibat merkuri mengancam Indonesia. Hingga jutaan orang bisa mengalami kecacatan bila penggunaan logam berat tersebut tidak dikendalikan.

Laporan Bali Fokus pada Maret 2015 menunjukkan bahwa tanda-tanda keracunan merkuri sudah ditemui di 3 wilayah Indonesia, antara lain Bombana di Sulawesi Tenggara, Sekotong di Lombok Barat, dan Cisitu di Banten.

Ketiga lokasi tersebut merupakan hotspot penambangan emas skala kecil, sektor penyumbang emisi merkuri terbesar di Indonesia dan dunia.

"37 persen emisi merkuri global berasal dari tambang emas skala kecil. Mengapa? Itu karena pemakaiannya sembarangan," kata Yuyun Ismawati dari Bali Fokus dalam konferensi pers Senin (20/4/2015) di Jakarta.

Di Cisitu, penambangan emas sudah berlangsung selama 15 tahun dengan pemakaian merkuri sekitar 25 ton per tahun.

Sektor tambang emas skala kecil di wilayah itu kini melibatkan 50 persen dari total 7.000 warganya. Konsentrasi merkuri di Cisitu, menurut penelitian Bali Fokus, tertinggi mencapai 50.549,91 nanogram/meter kubik (ng/m3) di kolam ikan, terendah 122,25 ng/m3 di rumah adat.

Sementara di Sekotong, penambangan emas selama 10 tahun telah menggunakan merkuri sekitar 70 ton per tahun.

Sejumlah 50 persen dari 40.000 warga terlibat penambangan liar itu. Konsentrasi merkuri tertinggi di udara sekitar 54.931,84 ng/m3 di toko emas sementara terendah 121,77 ng/m3. Ada satu halaman depan rumah warga yang konsentrasi merkurinya mencapai 20.891,93 ng/m3.
 
Di Bombana, Sulawesi Tenggara, penambangan liar emas juga sudah berlangsung selama 10 tahun terakhir.

Pihak yang terlibat penambangan emas bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan. Mereka berperan membakar amalgam untuk mendapatkan merkuri. Pembacaan merkuri yang terendah 28,07 ng/m3 sementara yang tertinggi mencapai 41.000 ng/m3.

Dengan konsentrasi merkuri di udara tinggi, belum ditambah yang masuk ke air dan bahan makanan, banyak kasus penyakit diduga terkait merkuri terjadi.

Di Cisitu misalnya, ada seorang anak yang memiliki kepala abnormal, menderita kejang sejak berusia 2 tahun, dan mengalami hipersalivasi (liur berlebih). Gejala itu sangat berkaitan dengan keracunan merkuri.

Di Bombana, remaja berusia 15 tahun mengalami kontraktur atau pemendekan permanen dari otot dan sendi.

Sementara di Sekotong, terdapat kasus anak berusia 3 tahun yang salah satu kakinya memutar, jari-jari dari salah satu kakinya menghadap ke belakang. Ada juga remaja 7 tahun yang sudah mengalami katarak.

Sejauh ini, Bali Fokus sudah mendapatkan 28 kasus diduga terkait merkuri di tiga wilayah yang diteliti.

Yuyun memang mengatakan, kasus-kasus itu "masih harus dibuktikan dengan pemeriksaan secara medis." Namun melihat gejala dan pemeriksaan fisik awal, keseluruhan kasus itu kemungkinan besar memang akibat merkuri.

Kasus lain terkait logam berat merkuri dijumpai di Kenjeran, Surabaya. Air sungai tercemar limbah merkuri dari industri.

"Sebanyak 80 persen anak di Kenjeran mengalami slow learning," ungkap Daru Setyo Rini dari Ekoton. Seumlah kasus kanker yang terjadi pada anak-anak diduga juga terkait dengan logam berat mematikan.

Ratifikasi Konvensi Minamata

Jumlah kasus keracunan merkuri yang terdata Bali Fokus bisa jadi merupakan puncak gunung es. Kasus lainnya mungkin masih banyak.

Untuk penambangan emas skala kecil saja, Indonesia punya 800 hotspot. Belum lagi, sektor yang menyumbang emisi merkuri di Indonesia bukan hanya tambang emas skala kecil, tetapi juga penambangan batubara, eksplorasi minyak dan gas, hingga pemakaian krim pemutih.

Merkuri bisa terdapat dalam dua bentuk, sebagai unsur dan sebagai merkuri anorganik berwujud metil merkuri.

Merkuri dalam bentuk unsur bisa dikeluarkan dari tubuh lewat feses. Namun, tidak dengan metil merkuri yang dihasilkan lewat pembakaran. Senyawa itu akan terakumulasi, menyebabkan kecacatan.

Merkuri bisa masuk ke air, terakumulasi dalam tubuh ikan, sayuran, dan lainnya hingga akhirnya masuk ke manusia.

Salah satu sebab besarnya pemakaian merkuri di Indonesia adalah peredarannya yang bebas tak terkendali. "Sangat mudah menemukan toko yang menjual merkuri di kota-kota," kata Yuyun.

Upaya untuk mencegah malatepataka akibat merkuri sebenarnya sudah ada, lewat Konvensi Minamata.

Konvensi telah ditandatangani oleh 128 negara dan diratifikasi 10 negara. Konvensi bisa diterapkan bila telah diratifikasi oleh 50 negara. "Indonesia sudah menandatangani tapi belum meratifikasi," ungkap Yuyun.

Yuyun mendesak pemerintah untuk meratifikasi konvensi tersebut dan menyusun rencana aksi dan implementasi pengendalian merkuri.

Indonesia pada tahun 2010 disinyalir mengimpor 190 ton merkuri namun data mengungkap bahwa impornya hanya 2 ton. Sementara tahun 2013, Indonesia diprediksi mengimpor 270 ton merkuri namun hanya menyatakan mengimpir 1,7 ton.

Bila meratifikasi konvensi, salah satu yang harus dilakukan Indonesia adalah menghentikan impor merkuri.

Peraturan Kementerian Perdagangan nomor 15 tahun 2014 sebenarnya telah melarang perdagangan merkuri. Namun, aturan tersebut sampai saat ini tidak dijalankan. Perdagang masih berlangsung tanpa pengawasan.

Indonesia juga perlu mengatur praktik penambangan batubara. Salah satunya dengan meminta mengendalikan emisi merkuri.

Perusahaan tambang batubara harus mengolah merkuri yang dihasilkan dengan mengubahnya menjadi padat dan menyimpannya (solidifikasi) atau mencampurkannya dengan polimer agar tak terlepas ke lingkungan.

Arif Fiyanto dari Greenpeace Indonesia mengungkapkan, potensi emisi merkuri dari batubara di masa depan sangat besar. Itu juga terkait dengan rencana pembanguann era Jokowi-JK.

"Jokowi-JK berencana menghasilkan 350.000 Megawatt listrik. Dari jumlah itu, 60 persen berasa; dari batubara. Emisi merkuri dari batubara akan besar. PLTU Batang yanga dibangun akan menjadi pengemisi merkuri terbesar," katanya.

Jumlah emisi merkuri baru sebagian dari dampak batubara. "Tambang batubara melepaskan emisi karbon 10,8 juta ton per tahun, setara Myanmar tahun 2009," imbuh Arif.

Bencana akibat merkuri pernah terjadi di Minamata, Jepang, akibat limbah industri pupuk. Dengan maraknya tambang emas liar, batubara, hingga pemakaian kosmetik tak aman, malapetaka yang sama bisa terjadi di Indonesia bila tak ada tindakan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau