KOMPAS.com - Di atas bukit, ibu-ibu pemanen padi di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, mendaraskan kidung. Tangan-tangan mereka cekatan memegang arit, mengunduh bulir-bulir beaq ganggas. Di tanah berbukit yang subur itulah, warga Sumbawa menyemai ketahanan pangannya.
Beginilah nyanyian ibu-ibu itu: "Gila kupendi nantate/ kapasir lalu baketong/ nongka yasanga biyasa/ kabiyasa kuke kakak/ sanganu nonda kusita/ sabulan tangkas rarate/ atie belo kukesiah/ kusalontak megapitu/ ngantung nuku beang bosan".
Artinya: Sungguh hatiku terlalu sayang, terlalu mengasihi. Kasih yang tiada batasnya, tidak seperti biasanya. Kebiasaanku sehari-harinya bersama kakak/ kekasih. Sehari saja tidak kulihat, sama dengan sebulan bersusah hati. Hatinya yang terlalu sayang kepada kekasih, sampai-sampai melebihi langit ketujuh. Kasih yang tiada bosan.
Nyanyian dalam bahasa Sumbawa itu didendangkan ibu-ibu petani sambil memanen beaq ganggas (bahasa Sasak) atau beras merah di lahan di atas bukit berketinggian sekitar 100 meter. Beaq artinya merah, sedangkan ganggas adalah tinggi. Nama itu sesuai dengan karakter asal padi lokal yang tumbuh di NTB, yakni memiliki batang mencapai 1,5 meter dan menghasilkan beras merah.
Dalam perkembangannya, banyak ditemui varietas beras merah baru yang tinggi batangnya tidak jauh berbeda dengan padi beras putih pada umumnya, yaitu tidak lebih dari 120 sentimeter. Padi beras merah varietas baru itulah yang sedang dipanen para petani Desa Klungkung, Kecamatan Batu Lanteh, Kabupaten Sumbawa, Sabtu (21/3/2015).
Padi itu milik Samsudin Firman (40), petani setempat. Lebih dari 30 orang membantunya panen di lahan seluas sekitar 2 hektar itu. Sebagian besar adalah ibu-ibu.
Padi beras merah itu dipanen setelah berumur 90 hari. "Kalau hasilnya bagus, saya bisa mendapatkan 60 karung. Satu karung isinya 100 kilogram padi kering," ujar Samsudin.
Ia biasanya menjual sepertiga bagian dari panen, sisanya disimpan untuk kebutuhan keluarga. Untuk beras merah basah, Samsudin menjualnya Rp 3.000 per kilogram, sedangkan untuk yang kering Rp 3.300 per kilogram.
Kawasan itu memang lebih cocok ditanami beras merah daripada beras putih. Sebab, beras merah lebih tahan penyakit dan tak memerlukan banyak air. Beras merah ditanam menggunakan metode gogo rancah yang bergantung pada curah hujan.
"Setiap bulan 8, kami sudah membuka lahan. Bulan 10, kami biasanya mulai tanam. Namun, tahun ini hujan turun terlambat sehingga panen ikut mundur," kata Samsudin.
Untuk menanam padi gogo rancah, petani menggunakan alat berujung besi lancip dengan tangkai dari kayu yang disebut sobe. Saat hujan baru dua atau tiga kali turun, petani mulai membersihkan lahan yang ditumbuhi rumput. Selanjutnya, lubang tanah dibuat dengan menggunakan sobe untuk menanam biji padi beras merah.
Makin jarang
Di Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, warga turun-temurun menanam beaq ganggas yang asli. Di lembah Gunung Rinjani itu, petak-petak sawah beaq ganggas masih bisa ditemui meski makin jarang dalam tiga tahun terakhir ini.
Amak Asni (60) adalah salah satu petani di Desa Sembalun Timba Gading yang masih menanami 15 are (1.500 meter persegi) lahannya dengan varietas lokal tersebut. Saat ditemui pada akhir Maret, padinya masih berusia sekitar dua bulan. Musim tanam beaq ganggas biasanya dimulai Februari dan panen pada Juli.