Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga "Gaji" Tetap Mengalir dari Hutan ke Orang Rimba

Kompas.com - 06/04/2015, 12:54 WIB

KOMPAS.com - Gaji bukan hanya datang dari kantor. Hutan pun bisa memberikannya.

Tumenggung Tarib, mantan kepala suku Orang Rimba, adalah salah satu yang mendapatkan gaji dari hutan. Jumlah yang didapatkannya tak bisa dibilang kecil sebab bisa mencapai 7 kali Upah Minimum Regional (UMR) DKI Jakarta.

"Sebulan kalau sekarang dapatnya Rp 5 - 10 juta," katanya ketika ditemui Kompas.com, Selasa (31/3/2015) lalu di Jambi.

Gaji dari hutan didapatkan Tarib dengan memanen karet dan rotan. Ia mengatakan, uang Rp 5 - 10 juta sebenarnya terbilang sedikit. Harga karet yang sedang turun membuatnya cuma meraoh uang sejumlah tersebut.

"Kalau harga karet bagus bisa Rp 20 juta per bulan," imbuhnya. Sekitar tujuh kali UMR DKI Jakarta bukan?

Uang yang diterima Tarib membuktikan bahwa hutan bisa memberikan manfaat bila dilestarikan. Dengan mengelolanya secara berkelanjutan, hutan bisa memberikan uang terus menerus layaknya perusahaan bonafit.

Ilmuwan telah lama menggagas konsep "layanan ekosistem". Definisinya, manfaat langsung atau tidak langsung yang diberikan ekosistem kepada masyarakat.

Manfaat itu bisa berupa uang yang bisa dihasilkan dengan mengolah hasil hutan, udara segar yang diberikan oleh pohon-pohon, air yang terus mengalir hingga sumber daya alam yang bisa menjaga kesehatan.

Dari cerita Tarib misalnya, selain uang, Orang Rimba bisa mendapatkan tanaman obat. Untuk menjaga kesehatan, ada pasak bumi. Sementara untuk mengontrol kelahiran bayi, ada lahabi.

Sayang, manfaat hutan itu kerap tak disadari, atau diabaikan. Hutan kerap dibabat, dimanfaatkan untuk tambang, sawit, dan hutan tanaman industri cuma untuk kepentingan segelintir orang.

Daerah penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi, tempat ribuan Orang Rimba hidup, banyak diubah jadi kebun sawit. Luas kebun sawit di Jambi sudah lebih dari 500.000 hektar.

Rakhmat Hidayat, Anggota REDD+ Project-United Nations Development Program (UNDP), mengungkapkan bahwa musibah meninggalnya 12 Orang Rimba dalam tiga bulan terakhir tak lepas dari hutan yang semakin susut.

Orang Rimba punya tradisi melangun, berpindah-pindah di wilayah hutan sebagai wujud rasa duka karena adanya anggota keluarga yang meninggal dunia. Selama melangun, Orang Rimba meninggalkan harta bendanya. Air dan makanan didapatkan dicari hutan.

Bagi Orang Rimba pimpinan Tumenggung Ngrib yang hidup di Bukit Subang, persis di perbatasan Taman Nasional Bukit Duabelas, melangun masih berarti mengelilingi hutan.

Namun, bagi Kelompok Terap pimpinan Tumenggung Marituha yang hidup di daerah penyangga taman nasional, melangun berarti melintasi kebun sawit. "Daerah mereka sudah banyak berubah jadi lahan sawit," kata Rakhmat.

Melintasi lahan sawit berarti Orang Rimba harus menghadapi sumber air dan bahan pangan yang sedikit.

"Dengan lingkungan yang berubah dan imunitas Orang Rimba yang rendah karena banyak yang belum diimunisasi, mereka menjadi rentan," kata Yomi Rivandi, fasilitator kesehatan KKI WARSI.

Kelaparan dan terjangkit penyakit saat melangun, itulah teori sebab musabab kematian 12 Orang Rimba dalam 3 bulan terakhir.

Agar tetap bisa memberikan manfaat bagi Orang Rimba dan mencegah musibah terjadi lagi, hutan di Jambi harus tetap dijaga. Untuk mengupayakannya, Badan Pengelola REDD+ yang kini telah dibubarkan dan pemerintah provinsi Jambi sebenarnya telah merencanakan kerjasama pengelolaan kehutanan.

Tujuannya, selain mengurangi emosi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan adalah untuk mengaudit izin konsesi dan memperkuat masyarakat adat.

Program konkritnya antara lain pengembangan dan penyempurnaan data dasar peta kadastral serta pengembangan hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat.

"Rencananya MoU ditandatangani 26 Januari, tapi BP REDD+ malah dibubarkan 23 Januari 2015," kata Hening Parlan, Partnership and Stakeholder Engagement Specialist BP REDD+.

Berdasarkan Perpres Nomor 16/2015, kewajiban BP REDD+ akan dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Maka untuk menjaga Orang Rimba, salah satu caranya adalah memastikan agenda BP RED+ dilaksanakan kementerian itu.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, beberapa waktu lalu menyatakan bahwa dia pasti melanjutkan agenda BP REDD+.

"Saya pastikan muatan BP REDD+ dilanjutkan. Saya senang sekali kalau petugas BP REDD+ tetap bersama kita. Agendanya sudah jelas dan sekarang sedang kita konsolidasikan," katanya usai dialog Refleksi Kerja 100 Hari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diadakan Selasa (3/2/2015) di Jakarta.

Namun hingga minggu lalu, Gubernur Jambi Hasn Basri Agus mengatakan belum mendapat kejelasan tentang kelanjutan rencana yang disusunnya bersama BP REDD+.

Masalah hutan di Jambi dan Orang Rimba kompleks. Potensi konflik bukan cuma antara masyarakat dan pemilik konsesi hutan, tetapi juga antara Orang Rimba dan masyarakat non adat.

Furwoko Nazor, fasilitator Orang Rimba KKI WARSI mengatakan, ada upaya dari warga lain untuk mendorong Orang Rimba menjual tanah dan kebunnya.

Hal itu kalau dibiarkan akan menyengsarakan Orang Rimba. Seperti kata Tumenggung Tarib, "Orang Rimba hidup kalau ada rimba." Kalau hutan sirna, jangankan gaji, hidup pun Orang Rimba tak akan memilikinya lagi.

Salah satu ekonom paling berpengaruh di dunia, Bjorn Lomborg, kepada Kompas.com Jumat (27/3/2015) lalu mengatakan, melestarikan hutan pasti mendatangkan manfaat.

"Untuk setiap 1 dollar AS yang kita keluarkan untuk hutan, kita akan mendapatkan benefit 10 dollar AS,' katanya. Angka itu didapatkan dengan mempertimbangkan fungsi hutan memberikan sumber air, nutrisi, mencegah bencana, dan fungsi kehidupan lain.

Menurut Lomborg, bisnis kehutanan seperti sawit dan tanaman industri memang akan memberikan keuntungan besar sesaat. Namun, bencana yang mungkin ditimbulkan juga akan lebih besar.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com