Oleh: Satryo Soemantri Brodjonegoro
JAKARTA, KOMPAS - Apakah pendidikan kita selama ini telah berhasil? Suatu pertanyaan yang terkesan sinis seolah tak menghargai kerja keras pemerintah dan masyarakat yang telah bersusah payah membangun dan mengembangkan pendidikan sesuai amanat konstitusi.
Pertanyaan ini seharusnya tak muncul seandainya negara berhasil menyelenggarakan pendidikan berdasarkan amanat konstitusi, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tampaknya negara mengalami kesulitan dalam memaknai kata-kata mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga arah pendidikan di semua jenjang dan jalur menjadi tak jelas dan belum dapat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tolok ukur keberhasilan pendidikan tidak serta-merta mencerdaskan kehidupan bangsa, padahal penganggaran pendidikan sangat ditentukan tolok ukur ini. Pendidikan dasar dan menengah menggunakan tolok ukur antara lain angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) serta ujian nasional (UN) dan akreditasi sekolah. Pendidikan tinggi menggunakan tolok ukur antara lain APK, peringkat akreditasi, publikasi ilmiah, peringkat internasional, dan jumlah anggaran.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi telah menerbitkan sejumlah standar pendidikan dan sejumlah peraturan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Mutu pendidikan kita, baik di tingkat dasar menengah maupun tinggi, selalu digaungkan dengan gencar supaya masyarakat memahaminya. Perkataan mutu jadi sedemikian penting bagi para pemangku kepentingan pendidikan sehingga seluruh daya upaya diarahkan ke mutu pendidikan.
Persoalan yang mendasar adalah belum adanya pemahaman yang hakiki mengenai mutu pendidikan. Mutu pendidikan secara pragmatis diwujudkan dalam bentuk akreditasi sekolah dan akreditasi perguruan tinggi, padahal definisi mutu hakiki adalah jauh lebih dalam dan mendasar dibandingkan akreditasi. Definisi mutu pendidikan yang hakiki adalah pendidikan yang mampu memberdayakan individu maupun kelompok individu serta masyarakat pada umumnya. Mutu pendidikan sering kali dikaitkan dengan hasil UN sekolah maupun peringkat universitas tingkat nasional dan internasional.
Dengan pemahaman mutu pendidikan seperti itu, sekolah dan perguruan tinggi berlomba-lomba meraih peringkat lebih tinggi dalam akreditasi dan nilai tertinggi dalam UN. Upaya mencapai itu semua tak mudah dan perlu dukungan finansial yang besar, bahkan seluruh daya upaya dikerahkan untuk mencapai akreditasi dan peringkat yang tinggi. Pertanyaannya, apakah akreditasi dan peringkat yang tinggi akan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa Indonesia?
Pengalaman menunjukkan bahwa akreditasi dan peringkat lembaga pendidikan lebih memberikan manfaat bagi lembaga itu sendiri ketimbang bagi masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama pendidikan. Dengan akreditasi dan peringkat yang tinggi, lembaga pendidikan tersebut dengan mudah merekrut calon peserta didik terbaik, merekrut guru dan dosen terbaik, memperoleh insentif pendanaan lebih tinggi, memperoleh pengakuan dari masyarakat, dan lain-lain. Dengan demikian, lembaga pendidikan itu punya peluang mempertahankan status, bahkan mungkin dapat meningkatkannya. Apakah dengan tingginya peringkat dan akreditasi, tujuan pendidikan sesuai amanat konstitusi berhasil dicapai?
Pencitraan pendidikan
Keberhasilan pendidikan atau manfaat pendidikan terwujud jika masyarakat terdidik berdaya mampu menyejahterakan dirinya dan meningkatkan kualitas hidupnya. Keberdayaan masyarakat seyogianya jadi tolok ukur keberhasilan pendidikan di mana masyarakat Indonesia menjadi masyarakat mandiri madani sejahtera. Karena itu, perlu pendefinisian kembali tolok ukur pendidikan dengan mencermati tingkat keberdayaan masyarakat. Selama ini tolok ukurnya lebih bersifat pencitraan di mana lembaga pendidikan mencari akreditasi dan peringkat tinggi, sedangkan masyarakat umumnya mencari status sosial dengan ijazah.
Tata kelola pendidikan terjebak ke dalam mekanisme administratif yang justru menghilangkan hakikat pendidikan. Berbagai peraturan perundangan yang ada mengenai pendidikan di semua jalur dan jenjang telah menjadikan pendidikan kegiatan administratif yang birokratis, penuh pengaturan dalam setiap aspek, tak ada otonomi dan akuntabilitas, tak ada inovasi dan kreativitas, tak ada kepercayaan terhadap guru dan dosen.
Jika pola ini masih dipertahankan, pendidikan di Indonesia hanya akan memberikan pencitraan dan belum memenuhi amanat konstitusi, pendidikan telah dikerdilkan maknanya ke arah formalitas di mana capaian yang diapresiasi adalah capaian formalitas. Budaya pencitraan dan formalitas sudah demikian melekat di pemerintah dan di masyarakat sehingga indikator yang menunjukkan kemajuan pendidikan adalah semu.
Satryo Soemantri B
Guru Besar ITB; Dirjen Dikti (1999-2007); Wakil Ketua AIPI