Tuhan yang Mahakuasa Tidak Selalu Berperan dalam Perkembangan Peradaban

Kompas.com - 04/03/2015, 21:06 WIB

KOMPAS.com
 — Tuhan Yang Mahakuasa tidak selalu berperan dalam perkembangan peradaban. Itu terungkap dalam hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Proceeding of the Royal Society B pada Rabu (4/3/2015).

Selama ini, banyak ilmuwan beranggapan bahwa kepercayaan kepada satu Tuhan, Tuhan Yang Mahakuasa dan berhak menghukum atau memberi penghargaan, berperan dalam perkembangan masyarakat menjadi semakin kompleks secara sosial dan politik.

Namun, dengan studinya di masyarakat Austronesia, spesialis evolusi budaya dari University of Auckland di New Zealand, Joseph Watts, menantang pandangan mayoritas tersebut.

Watts menemukan bahwa perkembangan masyarakat memang ditentukan oleh kepercayaan dan spiritualitas. Namun, dalam konteks Austronesia, kepercayaan yang berperan pada peradaban bukan kepercayaan dan agama yang meyakini satu Tuhan Yang Mahakuasa.

Watts dan rekannya mempelajari 96 kebudayaan Austronesia. Kebudayaan itu mencakup budaya masyarakat adat di Hawaii yang merupakan penganut kepercayaan politeisme hingga orang Merina di Madagaskar yang memercayai satu Tuhan.

Tim membagi kepercayaan menjadi dua. Pertama yang memuja satu Tuhan, disebut Moralizing High God (MHG). Kedua, yang memercayai kekuatan spiritual yang mengatur alam tetapi tak selalu satu Tuhan, disebut Belief in System of Supernatural Punishment (BSP).

Peneliti kemudian melihat kompleksitas masing-masing kebudayaan, menyusun pohon evolusi budaya berdasarkan hubungan linguistiknya untuk melihat keterkaitan dan pertukaran ide satu budaya dengan budaya lainnya.

Dalam makalah penelitian, Watts dan rekannya mengatakan, "Walaupun kepercayaan MHG tumbuh bersama kompleksitas politik, kepercayaan tersebut lebih cenderung mengikuti daripada mendorong."

"Justru, kita menemukan bahwa kepercayaan BSP-lah yang mendorong evolusi kompleksitas politik walaupun baik MHG maupun BSP sama-sama membantu mempertahankan kompleksitas itu begitu tercipta," imbuhnya.

Apakah hasil penelitian ini mengejutkan? Psikolog Ara Norenzayan dari University of British Columbia di Kanada seperti dikutip Nature, Rabu, mengungkapkan tidak.

"Di Asutronesia, kompleksitas sosial dan politik sangat terbatas. Ada kasus chiefdoms (hierarki sosial dan politik) tetapi tidak ada masyarakat dengan level negara. Jadi, tak mengejutkan bahwa Big Moralizing God tidak berperan," katanya.

Menurut Norenzayan, MHG lebih berperan pada masyarakat besar, seperti di daratan Eurasia. Ia setuju bahwa Tuhan Yang Mahakuasa tidak selalu berperan di kemajuan semua masyarakat.

Dalam makalahnya, Watts menyebutkan bahwa BSP berperan dalam mendorong masyarakat skala kecil untuk menjadi lebih kompleks dan efektif bekerja sama. Namun, BSP gagal dalam mengatur masyarakat yang lebih kompleks.

Pakar biologi evolusi dari University of Reading di Inggris mengungkapkan, fungsi MHG dalam masyarakat yang kompleks adalah sebagai alat untuk penguasa agama untuk melanggengkan kekuasaannya.

"Begitu Anda menjadi masyarakat yang besar dan menghasilkan banyak barang dan jasa, kesejahteraan itu bisa digunakan oleh seseorang untuk meraih kekuasaan. Cara tercepat untuk meraihnya adalah dengan menghubungkan diri dengan kekuatan super, menyusun apa yang bisa dilakukan dan yang tidak, dan itu menjadi 'moral' saat diaplikasikan pada perilaku sosial kita," ungkapnya.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau